Part. 32

99 20 12
                                    

Ais pikir Nues adalah pilihan yang terbaik, nyatanya salah. Nues adalah pilihan terburuk yang pernah hadir dalam hidupnya. Lebih buruk dari Lukman. Ia kira, hubungannya dengan Nues akan kembali baik seperti semula akan tetapi semua itu hanya angan yang tak nyata. Hubungannya semakin merenggang. Bisa dibilang menggantung. Tidak tahu akan dibawa ke mana. Setelah kejadian di rumah Ais kemarin tidak ada pesan masuk maraton dari Nues dan tidak diantar jemput Nues lagi. Menyesal? Sedikit. Ia butuh waktu untuk menenangkan hatinya yang kini hancur, lagi. Ia merasa menjadi wanita bodoh sedunia. Kenapa? Karena ia begitu gampangnya percaya dengan seorang lelaki yang bahkan baru ia kenal. Terhitung sudah dua kali ia dikhianati. Lukman dan Nues. Harusnya ia belajar dari Lukman dan tak percaya dengan omong kosong Nues. Mungkin kalau terjadi yang ketiga kalinya ia akan mendapatkan piring cantik, tapi ia tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Tak akan pernah terjadi. Camkan. Tidak akan.

"Kusut banget itu muka kayak gak pernah makan," ejek Pak Agus ketika Ais duduk di meja makan membawa bekal makan siangnya.

"Gue laper." Ais membuka bekal dan mulai memakannya dengan asal. Mengacuhkan Pak Agus yang duduk. Pak Agus yang melihatnya menggelengkan kepalanya. Seperti melihat sosok Ais yang lain.

"Eh, nanti nongkrong, yuk," ajak Pak Dani yang tiba-tiba datang entah dari mana dan duduk di sebelah pak Agus.

"Ke mana?"

"Gue lagi pengen di kafe Black Star yang katanya lagi hits. Biar kekinian gue," usul Pak Cahyo.

"Mahal kagak?"

"Ya kalo mahal lu pesen aer putih aja, Key," sambar Pak Agus.

"Jam berapa, Pak?"

"Jam setengah tujuh, gimana?"

"Ya udah ntar sebelum Magrib gue ke sana duluan."

"Ngapain lo ke sana? Mau bantuin cuci piring?"

"Katanya di sana kalau habis Maghrib tempat penuh. Tahu sendiri penduduk sini kalau ada tempat yang bagus kayak gimana." Ais kembali memakan bekalnya.

Semua setuju. Memang benar, kalau ada tempat hits yang baru aja grand opening pasti bakal rame.

Usai makan ia menghampiri staff mereka. Ia bosen ditinggal sendirian. Yang lain sudah pergi ngajar tapi siswa Ais tak kunjung datang juga.

"Mbak, siswanya gak masuk. Baru ngabarin sekarang." Ais mengangguk mendengar ucapan Sasha. Mau bagaimana lagi. Ia memilih duduk di tengah-tengah mereka.

"Gimana sama target gue?"

"Aman dong, Mbak. Semuanya dapet. Tinggal dikit apalagi Mbak Ais. Tinggal menikmati santainya."

Ia bernapas lega. Akhirnya perjuangannya tidak sia-sia. Lumayan dapat tambahan uang. Bisa ditabung untuk nikah. Eh?

"Mbak, kok, tumben gak dianterin Mas Nues?" tanya Luna.

"Kasian motor gue kalau dianggurin lama-lama. Toh, dia juga sibuk." Ais menjawab asal. Ia tidak mau membahas pria itu lagi. Semakin dibahas semakin bikin sesak di dada.

"Sha, Mas Nues udah kamu bikinin sertifikat belum? Tadi yang ngejawab sudah bisa diambil kamu, loh." Sasha nyengir. Ia lupa kalau janji sama Nues. Sasha langsung menghampiri komputer dan mencetak sertifikat yang dulu belum sempat ia berikan karena kehabisan kertas.

"Mbak, Mas Nues bakal ke sini loh bentar lagi. Cieeeee bakal diapelin." Ais berusaha untuk tetap diam saja tanpa mau menyahuti Luna. Ia keluar dari ruangan tersebut. Mendengarkan lagu hingga jam ngajarnya berganti. Ais mengelap tangannya dengan tisu sehabis cuci tangan dan membuangnya. Saat ia ke depan dan masuk ke kantor ia melihat Nues yang tengah duduk di kursi customer yang tengah menatapnya. Ais menatapnya sekilas tanpa ekspresi.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang