Part. 36

139 25 17
                                    

Hari ini adalah hari pertama Ais memulai pekerjaan barunya. Ia bercermin di depan kaca. Dengan setelan seragam dari Reihan dibalut dengan jaket kulit serta topi hitam yang selalu ia kenakan ia merasa mirip seperti para detektif, bukan seperti seorang supir.

"Kamu pantes, Is, pakai itu." Puji bu Sarah di ambang pintu kamarnya. Ais membalikkan badan dan tersenyum.

"Sarapannya udah Ibu siapin. Ibu mau ke pasar dulu beli bahan kue."

"Ibu hati-hati." Ais menyalami  bu Sarah sebelum bu Sarah pergi.

Ais mengambil ponsel yang sudah ia ganti nomornya dengan nomor yang baru agar tak ada yang menghubungi lagi. Tak lupa kunci motor dan dompet. Ia menutup pintu kamar lalu pergi ke dapur. Menikmati suap demi suap nasi goreng yang ibunya buatkan.

***

Ia menatap takjub rumah Reihan. Dari luar saja sudah terlihat begitu mewah. Rumah berpagar coklat yang begitu tinggi membuatnya tak bisa mengintip dari luar. Hanya bangunan bagian atas saja yang terlihat. Ia menekan bel lagi. Barulah gerbang terbuka menampakkan Reihan yang sudah siap dengan seragam kantornya.

"Masuk, Is. Motor kamu dibawa masuk aja." Reihan mempersilakan Ais untuk masuk.

Memasuki halaman rumah pria itu, Ais memuji akan rumah Reihan, sesuai dengan apa yang terlihat dari luar, rumahnya pun juga begitu bagus. Tak seperti jajan lebaran, dari luar tampak begitu indah, menggoda kalengnya ... kaleng biskuit diputar dijilat dicelupin itu, eh ... pas dibuka isinya rengginang. Aseli rumah Reihan sangat bagus. Ia jadi yakin kalau bosnya adalah pengacara yang begitu sukses.

"Gak usah bengong. Aku mau kenalin kamu ke ibu aku." Reihan menyadarkan Ais yang tengah melamun di depan rumah. Dengan ragu ia masuk ke dalam rumah Reihan. Tampak wanita paruh baya duduk di ruang tamu. Ais segera menyalami wanita tersebut dan duduk saat ia dipersilakan untuk duduk.

"Jadi ...." Kata pertama yang keluar dari ibunya Reihan hanya itu. Ais pikir akan berkenalan terlebih dahulu. Membuat Ais bingung harus bagaimana. Reihan duduk di sebelah Ais.

"Ini Ais, Ma. Dia supir baru aku. Mulai hari ini dia yang gantiin supir lama kita."

"Ini supir kamu? Cewek?" ibunya Reihan tampak kaget melihat Ais yang menjadi supir anaknya.

"Ma, dia ini yang dulu jadi pengajar Reihan waktu kursus nyetir. Yang pernah Reihan ceritain ke Mama."

Ibunya Reihan tersenyum. "Oalah, maafin, Tante. Saya tidak tahu. Gadis kayak gini, kok, kamu jadiin supir, Han." Ais sedikit tersinggung dengan ucapan beliau, seperti merendahkan dia saja. "Harusnya bukan jadi supir, Han, tapi calon menantu," lanjut beliau. Ais terdiam beberapa saat sampai ucapan Reihan menyadarkannya.

"Mama apaan, sih," tegur Reihan. "Kalau gitu kita berangkat dulu." Reihan mengambil tasnya lalu berpamitan, begitu juga dengan Ais yang ikut berpamitan. Ketika hendak pergi, ibunya Reihan mengatakan sesuatu.

"Is, ingetin Reihan buat makan, ya. Soalnya dia kadang suka lupa buat makan karena fokus sama pekerjaannya. Ajakin makan aja kalau susah disuruh. Semoga kamu betah kerja di sini."

"Iya, Tante."

***

"Kamu bebas mau ngapain sekarang. Lihat-lihat kantorku juga gak pa-pa. Nanti kalau ada yang perlu aku telepon kamu," ucap Reihan seraya melepas seatbelt. Mereka sudah berada di depan di firma tempat di mana Reihan bekerja. Ais mengangguk.

Kepalanya mendogak, melihat gedung yang sudah beberapa kali ia lihat dari kejauhan. Ia kembali menyalakan mobil sedan milik bosnya. Memarkirkannya di tempat yang sudah disediakan. Gadis itu keluar dari mobil dan menekn tombol kunci otomatis yang menggantung di kunci. Ia berjalan mengelilingi kantor tersebut. Melihat-lihat lebih dekat. Ia menghela napas. Menurutnya pekerjaannya begitu santai. Hanya menjadi sopir. Dua hal yang menjadi tuntutan, fokus dan gak boleh ngantuk.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang