Part 23

145 21 12
                                    

Senyum yang manis tercetak di wajah Ais. Sepulang dari Kedung Tumpang kemarin sikap Ais jadi berubah. Yang dulu berwajah datar kini berubah menjadi lebih banyak tersenyum. Dulu cuek sekarang lebih sering berbicara. Nues membawa perubahan yang sangat besar di hidup Ais. Mungkin benteng takeshi yang Ais bangun di hatinya sudah roboh karena terkena ombak cintanya Nues yang begitu besar sampai-sampai benteng yang ia bangun dengan semen hati dingin yang mengalahkan semen gresik yang kokoh tak tertandingi. Ia bahkan tak menyangka akan menjalin kasih dengan om-om. Bahkan om-om tersebut seorang bos. Ah, jauh dari skenario yang ia harapkan. Padahal dulu ia memimpikan punya pasangan yang seumuran dengannya tapi hatinya jatuh pada sosok lelaki dewasa.

"Mbak Ais kelihatan beda banget hari ini."

"Beda?" Ais mengerutkan keningnya. Perasaan ia tidak merubah tampilannya.

"Iya, beda. Hari ini tuh Mbak Ais lebih banyak senyumnya, gak masang wajah sinis, dan juga keliatan cerah banget kayak cuaca hari ini. Tapi aku lebih suka Mbak Ais yang sekarang." Ais hanya tersenyum. Sebegitu ketara kah tingkat kebahagiaannya saat ini?

Luna meraih tangan kiri Ais. Dahinya mengerut ketika melihat cincin yang melingkar di jari Ais.

"Sejak kapan, Mbak Ais pakai cincin? Perasaan Mbak Ais gak suka pakai cincin."

"Sejak pak Jojo naikin gaji."

Luna hanya mendengkus. "Tapi kayaknya aku pernah lihat cincin kayak gini, Mbak. Tapi di mana, ya?" Luna tampak berpikir di mana ia melihat cincin itu.

"Hampir mirip kali. Cincin kayak gini gak cuma satu," sanggah Ais.

"Enggak, Mbak, mirip banget."

"Cuma mirip, Luna!"

Luna menjentikkan jarinya. "Aku inget, Mbak, ini cincin mirip banget sama punyanya Mas Nues."

Ais menelan salivanya kasar. Bagaimana Luna bisa tahu? Ais lupa! Anak ini kan memang penglihatannya sangat jeli. Laporan keuangan yang Sasha kerjakan gak bisa seimbang saja ia bisa langsung cepat tahu letak kesalahannya di mana, padahal Sasha mencari salahnya dari Kutub Utara hingga Kutub Selatan tak jua menemuinya. Wajar saja bila hal sekecil ini bisa langsung tahu.

"Mbak Ais ada apa-apa ya sama Mas Nues?" Selidik Luna dengan tatapan seperti meminta penjelasan.

Eh, jangan ngaco kalo ngomong. Asal jeplak aja itu mulut." Ais mencoba mengelak tapi Luna ya tetap Luna. Selalu yakin dengan apa yang ia lihat.

"Ngaku deh Mbak, kemarin aja waktu Mbak Ais sakit, pagi-pagi Mas Nues ke sini dengan raut wajah panik. Nanyain Mbak Ais. Mana manggilnya cuma Ais doang. Iya, kan, Mbak? Pasti ada sesuatu nih di antara kalian."

Ais terdiam cukup lama. Luna tersenyum penuh kemenangan.

"Bodo amat lo mau ngira apa yang jelas gue gak ada hubungan apapun sama itu manusia hidup." Ais memilih pergi daripada harus menanggapi ucapan Luna yang akan melebar ke mana-mana.

***

"Mari, Pak, belajar sekarang." Ais memberikan kunci mobil ke Nues.

"Gak usah sok profesional deh, Mbak kalau sama calon sendiri," goda Luna.

"Eh, itu mulut dikondisiin dulu. Jangan ngawur kalo ngomong. Ngomong harus sesuai fakta bukan opini," balas Ais.

"Butuh bukti? Coba tangan Mbak Ais sama Mas Nues taruh di meja. Buktinya ada di kalian berdua." Nues tersenyum melihat rekan Ais yang keukeuh tentang hubungan mereka.

"Gak usah sok jadi detektif."

"Pake malu-malu," cibir Luna. Ais hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Luna. Ia memilih jalan duluan tanpa menunggu Nues.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang