Part 30

114 19 2
                                    

Pria yang mengenakan setelan jas itu melangkahkan kaki menuju ruangannya dengan langkah panjang. Melepas jasnya dan membuangnya di sofa. Mengempaskan tubuhnya di kursi kerja. Melonggarkan dasinya yang terasa mencekik dan melepas kancing kemeja paling atas.

Ia sudah mempersiapkan rapat sebagus mungkin dan sangat semangat karena proyek yang begitu lumayan besar untuk hotelnya. Ia berharap kalau jadi, bayaran yang ia dapat akan ia tabung untuk pernikahannya kelak bersama Ais, tapi semua itu batal karena rekan bisnisnya membatalkan tiba-tiba ditambah laporan keuangan hotel bulan ini belum dilaporkan ke dirinya membuatnya tambah meradang.

"Permisi, Pak, apa perlu saya buat jadwal rapat lagi?" tanya Yuli hati-hati.

"Gak perlu. Kamu gak bikin jadwal pengganti rapat hari ini. Kalau mereka menghubungi kamu untuk rapat ulang, kamu yang atur jadwalnya biar mereka ikutin kita. Kalau gak mau gak usah sekalian. Kita cari yang lain. Main seenaknya saja ngebatalin agenda tanpa alasan."

"Iya, Pak, siap. Ada yang lain lagi?"

"Sekalian kamu bilangin sama bagian keuangan. Mau sampai kapan laporannya ditimbun? Kalau gak sanggup ngerjain mending keluar. Saya gak mau tau besok pagi laporan harus ada di meja saya sebelum saya datang. Saya gak nerima alasan apapun." Perkataan Nues begitu tegas dan tatapan matanya yang sadis. "Sekarang kamu bisa keluar." Nues mempersilakan Yuli pergi. Sekretaris itu menahan napasnya. Bosnya begitu terlihat marah dan begitu menyeramkan sekali. Untung saja ia cepat disuruh keluar.

Nues menghela napas panjang. Matanya tak sengaja menangkap foto Ais. Mungkin dengan menemui atau melihat wajah gadis itu hati dan otaknya bisa dingin lagi. Ia mencoba menghubungi nomor kekasihnya itu namun nomornya tidak bisa dihubungi. Ia melepas dasinya, membuangnya asal. Ia bangkit menuju parkiran. Saat hendak menyeberang, matanya melihat gadis yang ia kenal lewat di depannya. Dibonceng seorang pria. Ia mengikuti dari belakang ke mana mereka berdua pergi.

Sosok yang ia lihat adalah kekasihnya. Hatinya seketika berkobar melihat gadis yang ia sayang dibonceng pria lain bahkan ngobrol di cafe dengan begitu santai dan nyaman. Seoalah Ais melupakan sosoknya.

Tangannya mengepal keras. Rasanya ingin sekali menonjok bangku di mana ia duduk. Ia tak habis pikir dengan Ais yang dengan mudah keluar dengan seorang pria. Bahkan ia membututi Ais sampai di rumah gadis itu. Ia lalu pergi usai Ais masuk ke dalam rumah dengan aura yang padam.

Pak Andre yang melihat Nues langsung menyapa putra kesayangannya itu.

"Tumben jam segini udah pulang? Gak pacaran dulu? Kapan kamu kenalin Ais ke Papa?"

"Nues ke kamar dulu. Istirahat." Nues mengacuhkan pak Andre yang bertanya panjang. Beliau heran dengan sikap anaknya saat ini.

"Tumben itu anak wajahnya kayak air kobokan." Pak Andre kembali menonton acara tv.

Di dalam kamar pun emosinya belum meredam. Ia menghubungi Ais. Tanpa menunggu lama, panggilannya terjawab. Satu sisi buruk Nues saat mood-nya sedang kacau, tidak mau mendengarkan dan egonya lebih menang daripada pikirannya. Bukan memperbaiki hubungan malah makin buruk.

"Udahlah, pusing aku." Nues langsung mematikan ponselnya. Membuangnya ke kasur. Pikirannya begitu kacau. Ia bergegas untuk mandi. Usai mandi ia menyelimur pikirannya dengan mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan kantor namun lagi-lagi ia dibuat tak fokus karena kepikiran dengan Ais terus menerus. Ia mengubungi Ais lagi, ia tak bisa lama-lama untuk marah dengan gadis itu, tapi panggilannya tak dijawab. Ia tak lantas berhenti. Sudah lima kali ia mengubungi gadis itu namun tak dijawab. Ia mematikan ponselnya dan membuangnya asal.

***

"Is, ada yang nyari kamu tuh di luar." Bu Sarah berdiri di ambang pintu kamar anaknya.

"Siapa, Bu? Nues?" Ais bangun dari rebahannya menatap ibunya. Ia berharap yang datang adalah Nues.

"Kamu lihat sendiri aja. Ibu tinggal dulu." Ais mengangguk. Ia bercermin sebentar untuk merapikan penampilannya sebelum keluar dari kamar. Sampai di ruang tamu ia tak menemukan siapapun tapi pintu rumahnya terbuka. Saat ia keluar rumah dan melihat siapa yang datang ia merasa sedikit kecewa. Ia pikir itu adalah Nues ternyata bukan.

"Maaf, Is, udah ganggu waktu kamu." Reihan berdiri menyapa Ais.

"Gak pa-pa, Pak. Mau gobrol di dalem aja?" tawar Ais dengan senyum yang dipaksakan.

"Gak usah. Di sini aja." Tolaknya.

"Duduk, Pak." Reihan duduk begitu pula dengan Ais. "Ada apa Pak Reihan ke sini?"

"Temen aku belum pulang dari acaranya jadi habis Magrib aku ke sini. Soalnya bingung juga mau ke mana." Ais tersenyum simpul namun pandangannya kosong. Tidak tahu kenapa pertengkaran yang sepele terus mengganggu pikirannya. Ia mau menelepon Nues dulu tapi ia gengsi.

"Is." Ais menoleh dengan tatapan bingung.

"Kamu ada masalah?"

"Enggak, Pak." Ais nyengir tidak enak.

"Aku tahu, loh. Punya masalah sama pacar kamu?" Ais hanya memberikan senyuman samar. "Cerita aja. Barangkali aku bisa ngasih solusi."

Ais diam dengan pandangan lurus ke depan. Reihan mengamati gadis yang ia rasa begitu cantik itu. Mungkin kalau statusnya tidak duda dan juga Ais belum menjalin sebuah hubungan, ia pasti akan mendekatinya namun situasi sudah berbeda.

"Dia kecewa melihat saya pulang diantar Pak Reihan." Ais bercerita begitu singkat namun Reihan bisa menangkap apa yang gadis itu maksud. "Tapi saya yakin besok sudah baikan." Ais percaya bahwa ini pertengkaran yang biasa saja. Tidak perlu diperpanjang bahkan dipersulit.

"Lelaki mana yang tidak cemburu melihat pacarnya yang secantik ini boncengan sama laki-laki lain yang yang bahkan dia gak kenal sama laki-laki itu." Reihan menyesap kopi buatan ibunya Ais. Lalu meletakan kembali ke meja. "Aku tau itu juga bukan salah kamu karena antara aku dan kamu tidak ada apa-apa. Meskipun kamu enggak tapi kamu harus minta maaf."

"Minta maaf?" Ais menoleh ke arah Reihan dengan kerutan di dahinya.

"Iya, minta maaf. Walaupun kamu enggak salah, kamu harus minta maaf. Seengaknya bikin dia tenang. Kalau sudah tenang baru kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin pasti bakalan ngerti dan bakal minta maaf juga. Terkadang kita harus membuang ego kita demi sebuah hubungan." Ais mendengarkan dengan baik apa yang Reihan ucapkan. Pria itu meraih ponselnya dan membuka pesan masuk. "Is, aku pamit dulu ya, temenku udah di rumah. Makasih ya, untuk kopinya. Semoga kamu cepet baikan sama pacar kamu. Lama-lama berantem itu gak baik. Salam sama ibu kamu."

"Iya, Pak. Makasih untuk solusinya." Reihan mengangguk dan pergi.

Ais masih duduk di kursi teras. Memikirkan matang-matang apa yang akan ia lakukan untuk hubungannya. Diam saja sembari menunggu Nues menghampirinya atau mengikuti saran dari Reihan.

Seperginya Reihan, Ais kembali ke kamarnya. Ia langsung mengambil ponselnya dan melihat sudah ada panggilan tak terjawab dari Nues. Ais segera menghubungi Nues balik tapi, nomor pria itu tak bisa dihubungi.

Ia terdiam dalam keheningan kamarnya. Menyerap apa yang Reihan katakan. Mungkin besok ia akan menghubungi Nues kembali untuk meminta maaf.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang