Part 8

147 23 6
                                    

Matanya memicing. Kerutan di dahinya muncul sembari menatap seorang pria bertubuh tinggi yang membuka pintu kiri mobilnya. Ia lebih terlonjak lagi saat mengetahui siapa pria itu.

"Hai, Nona Jutek," sapa pria itu sedikit membungkuk agar terlihat oleh Ais. Tak lupa dengan seulas senyum yang membuat pria yang mengenakan kaus polos putih itu terlihat tampan.

"Ada perlu apa anda di sini?" tanyanya dengan tatapan lurus ke mata pria yang masih di luar mobil. Tatapan yang menyiratkan ketidaksukaan.

"Mau belajarlah, Non, ya kali mau makan."

Belajar? Mana mungkin pria itu belajar. Pasti pria itu hanya bercanda. Mungkin masih menyimpan dendam dengannya gegara insiden menabrak beberapa hari lalu, begitu pikirnya.

"Kartunya." Pria itu memberikan kartu belajar yang tadi ia peroleh sewaktu mendaftar ke Ais. Tanpa pikir panjang langsung Ais terima dan ia baca nama dan jadwal di kartu itu.

Instruktur   : Nuraisyah Stefani.
Nama          : Nuesta Andreawan.
Alamat        : Purwokerto, Ngadiluwih
Mulai           : Selasa, 13-08-'19
Jam             : 16.00 (18-094)

Mata Ais reflek mendelik. Jadi, pria menyebalkan ini akan menjadi siswanya? Dia sedang bercanda, kan? Terus yang katanya Luna cakep itu dia? Oh, Tuhan, dunia sempit sekali. Kenapa ia harus bertemu dengan pria itu, lagi? Seperti tidak ada stok siswa lainnya saja, dan kenapa harus Ais yang menjadi instrukturnya? Kenapa tidak dikasih ke instruktur yang lainnya? Ambil tiga belas kali pula. Sialan! Besok ia harus membuat perhitungan dengan Luna. Ia tidak mau mengajari siswanya yang satu itu.

"Kok diem, Non?"

Ais mengerjap saat Nues melambaikan tangan di depan mukanya. Ais menghela napas.

"Duduk. Saya akan jelaskan."

"Jutek banget, Non."

"Saya minta ke anda untuk duduk dan saya jelaskan. Saya tidak menanggung waktu anda yang terbuang karena perdebatan yang tidak penting."

"Gak pa-pa, kok, asal bareng kamu," balasnya sembari masuk ke dalam mobil. Nues mencoba menggombali gadis itu, akan tetapi Ais tidak memedulikannya.

Sejujurnya Ais paling males kalau dapat siswa modelnya seperti ini, suka ngegombal. Bikin darah naik. Ais iyain saja daripada ribet. Ais melihat Nues sudah di posisinya. Ia menjelaskan sedikit dan kemudian mereka bertukar posisi. Ais di kursi samping kemudi, Nues gantian yang pegang kemudi.

"Sekarang praktikkan apa yang saya jelaskan tadi tanpa ada kesalahan." Khusus siswanya yang satu ini, ia akan bersikap tegas tanpa toleransi. Ia akan bersikap galak. Sengaja ia melakukan itu agar pria itu tidak nyaman terus pindah ke instruktur lain. Dengan begitu, deritanya akan hilang.

Lima meter pertama lumayan bagus cara mengemudinya, tapi ada satu hal yang bakal bikin emosi orang lain terutama emak-emak.

"Bapak gimana, sih?! Kalau mau belok itu lima puluh meter sebelum tikungan Bapak kasih tanda sign belok kanan atau kiri, bukannya mendadak gini!! Kalo sampe yang belakang kaget trus nabrak emang Bapak mau tanggung jawab apa?!" Seketika Ais langsung meradang. Bagaimana tidak meradang kalau siswanya tidak mendengarkan apa yang ia jelaskan tadi. Ais benar-benar dibikin kaget, sumpah. Untung saja di belakang tidak ada pengendara lain, jadi aman.

"Berhenti."

"Kenapa, Non?" Nues bertanya dengan wajah sok polosnya membuat Ais tambah emosi. Ais terdiam cukup lama lalu menghela napas agar kembali tenang.

"Jalanin mobilnya. Kita pelan-pelan aja."

Lima puluh menit akhirnya terlewati. Kini Ais sudah di depan kantor lagi dan bernapas lega.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang