Part 20

119 21 4
                                    

"Mbak Ais, Mbak Ais."

"Ada apa, sih, Sha?" Ais duduk di kursi Luna yang entah orangnya pergi ke mana.

"Mbak, aku mau cerita, deh."

"Apa? Pacar lo ngambek?" Sasha itu kalau cerita pasti yang diceritain pacarnya, apalagi kalau bertengkar, ceritanya bisa sampai Shubuh.

"Bukan. Jadi gini, kemarin kan pas aku pulang sore, masa pak Wahyu nanyain Mbak Ais mulu." Sasha bercerita sewaktu pak Wahyu mengintrogasinya kemarin sore tanpa jeda, membuatnya pulang sedikit molor. "Banyak banget yang dia tanyain, bahkan sampe nanya alamat rumahnya Mbak Ais, ngapain coba?"

"Pak Wahyu siapa, sih? Siswa gue?"

"Ish! Bukan, Mbak. Itu lho, instruktur baru. Yang muda, yang ngajar di Kediri dua. Kemarin beliau selesai ngajarnya lebih awal makanya pas parkir di sini ketemu aku dan dijadiin kesempatan, deh," jelas Sasha sedikit kesal mengingat bagaimana pak Wahyu menahannya agar tak pulang dulu padahal ia sudah ada janji dengan temannya.

Ais mengangguk walaupun mungkin belum pernah ketemu dengan instruktur yang berna pak Wahyu itu. "Terus lo jawab apa?"

"Aku suruh aja nanya ke Mbak Ais sendiri."

"Bagus. Jangan sampe lo kasih tau tentang gue apalagi nomer hape gue." Ia sangat malas berhubungan dengan orang yang tidak jelas, apalagi yang sok akrab, membuatnya ingin menendang itu orang ke Jupiter.

"Dia ganteng lho, Mbak. Tapi ya gitu, genit."

"Lo aja sono yang ambil, gue gak minat."

"Aku juga ogah, Mbak. Mending sama siswanya pak Agus yang China itu." Sasha terkekeh.

"Chatt aja, kan ada nomernya. Gue ngajar dulu." Ais mengambil kartu belajar siswa yang sudah di atas meja. "Awas kalo lo sampe ngasih tau." Ais memperingatinya dengan tatapn tajam.

"Iya iya, Mbak Ais, iya. Gak akan, kok." Ais melenggang pergi mengajak siswanya menuju mobil.

Ia mengarahkan siswanya ke jalanan gang sempit karena memang jalan gang sempit lebih susah dibandingkan berkendara di jalan besar dan cocok dengan materinya, belokan. Di jalan sempit apalagi di saat kita berbelok, kita harus bisa mengira-ngira memutar setir mobil berapa kali dan harus pada posisi yang pas.

Ia mendengkus, siswanya yang satu ini sedikit susah untuk dibilangi. Semaunya sendiri tanpa mengikuti arahan dari pengajarnya.

"Mbak, kurangi kecepatannya." Ais berkata dengan sangat halus. Namun perkataan Ais tidak didengar sama sekali.

"Di depan ada bendera kuning masa Mbak Risa mau ngebut? Bisa dilempari kursi plastik kita. Ini kita latihan jadi belajarnya ya harus pelan-pelan apalagi seperti ini. Bisa Mbak Risa kurangi kecepatannya." Siswanya itu akhirnya mau melakukan apa yang ia katakan.

"Kita ini memang belajar, tapi harus ada sopan santun dan etikanya seperti sekarang ini, coba kaca mobilnya diturunkan setengah, lalu diklakson sedikit dan disapa."

Ora-orang yang yang berkerumun di pinggir jalan untuk takziah langsung sedikit menepi saat klakson dibunyikan agar mobil itu bisa lewat.

"Mari, Pak," sapa Ais begitu ramah dengan seulas senyum.

"Iya, Mbak. Mari." Benar saja, semua orang menjawab dan tersenyum ramah, malah ada yang melambaikan tangan dan menyuruhnya berhati-hati.

"Nah, seperti itu tadi, Mbak, contohnya. Hal seperti itu perlu diterapkan. Kita gak boleh seenaknya sendiri karena ini jalan umum."

"Iya, Mbak. Saya paham."

"Oh, iya, Mbak. Saya mau minta diajarin parkir kayak di Mall gitu, Mbak," pinta siswanya.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang