Part 10

129 22 5
                                    

"Buk, Ais enggak sarapan soalnya udah hampir jam setengah enam, takut enggak keburu." Ais berpamitan ke ibunya. Ia telat bangun. Ditambah badannya terasa begitu nyeri akibat olahraga kemarin.

"Kamu itu kebiasaan tiap pagi jarang sarapan, Is. Makanya jangan tidur malem-malem. Udah tau kerjanya habis subuh, tapi malah begadang. Bekal kamu ibu taruh di meja tamu." Bu Sarah mengomeli kebiasaan Ais yang kadang membuatnya cemas, takut kalau anaknya kelaparan di jalan.

"Iya, Buk. Ais berangkat kerja dulu." Ia mencium tangan ibunya sebagai tanda hormat.

"Is, nanti jangan pulang telat, ya, soalnya anaknya temen ayah mau ke sini."

"Anaknya temen ayah? Hubungannya dengan Ais?"

"Kamu lupa kalau kamu mau dikenalin sama calon imam kamu?"

"Nanti?" Ia bahkan lupa dengan agenda keluarganya hari ini. Entahlah, sejak memutuskan hal terkonyol dalam hidupnya ia seperti terbang bebas, tidak memikirkan harus bagaimana di kemudian hari saat ada lelaki mulai menjelajahi hidupnya.

"Iya, Is, hari ini. Makanya nanti kamu jangan pulang malem-malem. Jam enam harus udah di rumah. Paham?"

"Iya, Buk, Ais berangkat dulu." Ais menyalami bu Sarah dan mencium punggung tangan ibunya, lagi.

"Hati-hati di jalan, jangan ngebut."

"Iya, Buk. Wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Ais mengambil bekalnya. Tidak memikirkan acara nanti malam. Ia berangkat mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

***

"Jadwal gue?" tanyanya setelah selesai mengajar siswa yang jam enam pagi.

"Ini, Mbak." Sasha menyodorkan kertas jadwal ke Ais. Ia melihat jadwalnya yang penuh. "Mbak Ais, Mas Nues tadi telepon katanya gak bisa masuk karena banyak banget kerjaan yang harus diurusin terus barusan ada anak SMA daftar minta jam enam malem terus tak kasih ke Mbak Ais," lanjutnya.

"Mulai kapan? Hari ini?"

"Iya, Mbak, mulai hari ini." Ais terdiam. Kehadiran siswa di waktu yang tidak tepat. Padahal tadi ibunya sudah berpesan untuk tidak pulang larut malam tapi kalau ditunda juga tidak enak dengan siswa barunya.

"Kenapa, Mbak? Mbak Ais gak bisa, ya?"

"Bisa, gak masalah. Yang jam lima gak bisa dimajuin?"

"Gak bisa, Mbak, rencana yang jam tiga mau aku dobel."

"Ya, udah. Lo udah makan?"

"Belum, Mbak. Hehe."

"Buat lo sama Luna." Ais mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu yang diberikan ke Sasha. "Gue makan dulu," lanjutnya.

"Makasih, Mbak Ais!" seru Sasha senang mendapat pemasukan buat dompetnya. Lumayan bisa beli jajan.

Ais duduk di meja makan. Membuka bekal makanannya. Nasi santan rasa serai jahe serta tumis kangkung. Sehabis berdoa dan minum, ia menyantap makanan yang ada di hadapannya dengan lahap.

"Sarapan apa, lo?" Tiba-tiba Pak Dani duduk di depan Ais.

"Daging Naga."

"Awas nyembur api." Ais terkekeh.

"Ini pada ke mana? Kok sepi banget. Pada belum balik ngajar?"

"Pak Key dobel, kalo pak Agus sama pak Cahyo lagi makan di warung pak Sela."

"Begaya banget makan di warungnya pak Sela."

"Beli sayurnya doang, Pak."

"Orang fakir ketemu orang miskin ya gitu. Ha ha."

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang