"Be, sejauh apapun aku pergi, sejauh apapun aku ninggalin kamu, hati aku tetep buat kamu. Cinta aku buat kamu. Rasa sayang aku buat kamu. Trust me, semua akan baik-baik aja."
"Enggak. Kalo kamu emang beneran sayang sama aku, kamu gak mungkin ninggalin aku sendirian. Kamu akan perjuangin gimana caranya untuk kamu tetep tinggal disini."
"Buat sekarang, aku nolak keinginan papi, gak mungkin. Harapan papi cuma ada di aku. Anak laki-laki papi cuma satu. Aku penerus papi. Aku yang bakal lanjutin perjuangan papi."
Prilly mengusap air matanya. Entah kenapa kalau membahas soal ini, air matanya selalu turun tanpa dikomando. Prilly tidak bisa membayangi bagaimana hidupnya tanpa seorang Ali. Lelaki yang hampir setengah tahun ini menjadi kekasihnya.
Ali menggenggam jemari Prilly, "Sayang, percayain semua ini sama aku. Perkara jadi atau enggaknya aku pindah nanti, tergantung papi. Kalo emang ini udah final banget, mau gak mau aku harus pindah."
"Gak rela kamu pergi." Prilly memeluk Ali. Membenamkan kepalanya di dada Ali. Aaaahhhhh, pelukan ini yang selalu ia rindukan.
"Udah dong, jangan nangis. Gak suka masa liat kamu mewek gini." Ali mencubit pipi Prilly. Sengaja. Mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang. Ali paling tidak bisa melihat kekasihnya mengeluarkan air mata karena ulahnya. Ya walaupun ini bukan kemauan Ali.
"Laper..." rengek Prilly disela tangisannya. Ali tertawa. Namanya juga perempuan, kalau apa-apa tuh gak jauh dari makan.
"Mau makan apa si? Sepuasnya deh, aku traktir." Prilly menegakkan tubuhnya. Tangannya Ali terulur menghapus air matanya. Setidaknya dengan menangis, sesak di dada Prilly berkurang, ya meski hanya sedikit.
"Ice creaaammmmmm!"
Ali menyerit, "Katanya laper? Malah mintanya es krim. Aneh ni lu," katanya terkekeh. "Makan di mcd aja yuk? Mumpung masih jam tujuh, be. Mau gak?"
Prilly cuma angguk-angguk aja. Yang penting judulnya makan. Bareng Ali, mwhehe.
"Aku ganti baju bentar. Sekalian panggil papa. Kamu minta izin ya." Kata Prilly sebelum berlalu. Padahal tadi sore di sekolah ketemu, tapi, habis magrib tau-tau Ali sudah di rumahnya saja. Bucin ngapel terosss kerjaannya.
"Oke siap." Ali menunggu Prilly yang sedang berganti pakaian. Tak lama, papa Revan datang. Ali tersenyum ramah. "Om, Ali izin bawa anak om makan ya, di luar. Sekalian mau jajan om. Boleh kan?"
Papa Revan terkekeh, "Iya boleh. Asal dibalikin ya. Jangan sampe lecet."
"Siap om."
"Ali jangan khawatir, nanti om bantu ngomong ke papi kamu supaya gak pindahin Ali. Gak kebayang om gimana nantinya si Prilly tanpa kamu. Om tau, kebahagiaan Prilly ada di kamu, ada bersama kamu." Tiba-tiba Papa Revan berucap seperti itu. Antara senang dan terharu si Ali. Se-care itu calon papa mertuanya.
"Eh? Hehehe, makasih banyak om. Ya semoga aja papi luluh sama bujukan-bujukannya. Ali juga gak tau kenapa papi kekeuh banget pindahin Ali buat bantu opa disana. Padahal sebelumnya enggak."
"Udah dong, jangan galau! Enjoy your day. Kalo kamu sedih nanti princessnya om ikutan sedih. Gak tega ah." Kata Papa Revan menepuk bahu Ali. "Jangan balik di atas jam sepuluh ya. Om percaya kalo Prilly jalan sama kamu."
"Asiappp calon papa mertua." Balasan Ali membuat papa Revan tertawa. Memang ya, si Ali mulutnya tuh gak bisa di-rem. Percaya diri banget lagi.
"Permisi. Assalamualaikum."
"Dih, Lang? Ngapain lo?"
"Anjir, ketauan bang Biru, sialan ah." Batin Langit. Baru mau ngapelin Abel, eh ada si Biru juga. Langit cuma cengengesan natap Ali, abis itu berjalan mendekati papa Revan, menyalami tangannya. "Haiiii, Om!" Sapanya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Boyfriend
FanfictionAwalnya si kesal gitu punya teman seorang badboy. Suka seenaknya. Biang rusuh. Tukang ribut. Annoying banget pokoknya. Tapi, lama-lama pandangan gadis berparas mungil itu berubah. Sejak 'badboy' itu menyatakan perasaannya, dunianya seakan lebih berw...