Anna mendongak menatap Cameron dengan wajah sendunya. "Ak-aku ... bisa kasih kamu keturunan ... " ujarnya dalam sendu.
Dan detik selanjutnya, Cameron terdiam. Jantungnya berdetak kencang, ia memeluk Anna kencang. Rasanya hancur mendengar pernyataan Anna. Apa ini? Apa yang akan ia lakukan nanti?
Tentu Cameron bahagia, Anna bisa memberikan dirinya keturunan. Lalu ... bila Anna bisa, apa kendala di antara mereka? Anna melepaskan pelukan, "Aku senang, Cam."
Cameron tersenyum, mengusap kepala Anna. "Aku lebih senang, Anna. Kamu buat aku jantungan tau enggak, nangis kayak gitu."
Anna tertawa, "Eh, tapi, Cam kamu tadi buat aku melayang gituu. Manis banget sih lo," Anna mencubit hidung Cameron gemas.
"Anna, aku besok enggak ke kantor,"
Anna menautkan alis, "Loh, ada masalah?"
"Ada janji sama anak-anak,"
"Futsal?"
"Iya,"
"Kok tiba-tiba?"
Cameron menyengir, "Tau, nih Ben mendadak,"
"Oh, ya aku lupa kasih tau kamu. Aku belum ada tanda-tanda janin, Dokter nyaranin kamu ikut test kesuburan juga buat liat apa kendala kita," Ujar Anna.
Wajah Cameron memucat, ia menelan ludah susah payah. "Oooh, iya,"
Anna memberi jari jempolnya, "Yuk tidur,"
"Aku lapar, enggak mau buatin aku makanan dulu?" Tawar Cameron. Sebenarnya ia ingin melepaskan rasa was-was nya.
Anna menatap Cameron lama, lalu ia mengangguk setuju. "Oke, Anna tau makanan yang asik untuk malam ini,"
Beberapa menit selanjutnya Anna membawakan dua mangkuk ke arah meja ruang tengah. Cameron membantu Anna menaruh di meja, sedangkan gadis itu duduk di sebelah Cameron. "Taarraa! Mi kuah cocok banget, ya, enggak?" kedua alis Anna sudah naik turun ke arahnya dalam senyum.
Cameron mengacak rambut Anna gemas. "Lucu banget, sih, serasa mau di gigit,"
Anna tertawa, "Ayo makan, entar dingin enggak enak," Cameron mengangguk.
Mereka memakan mi buatan Anna, di temani malam yang cukup mendukung. Tatapan Cameron tidak luntur untuk menatap Anna, ia senang melihat wajah Anna yang kembali tersenyum. Rasanya hangat di temani senyuman gadis itu, seperti sebuah sihir untuknya. Rasa cemas nya seketika berkurang, Anna memang obat yang kuat untuknya. Dia punya banyak hal sederhana yang membuat keadaan Cameron kembali tenang, entah bagaimana caranya. Anna seperti narkoba untuknya, membuat dirinya kecanduan.
"AW!" Jerit Anna langsung memegang ke arah bibir nya. Cameron langsung saja meraih tangan Anna. "Eh, kenapa?"
Anna meringis, "Iiihh, kegigit lidah akuu," jeritnya kesakitan.
Cameron tersenyum, "Hati-hati makannya, sayang. Yaudah sini aku tiupin,"
"Mana ngaruh!"
"Kalo ... aku cium?"
"... Emmm, gimana, ya?" Bibir Anna tertarik membuat lengkungan ke atas.
Cameron langsung saja mengecup bibir Anna lama, lalu mengusap wajah Anna menatap dalam wajah Anna yang membalas tatapannya. "Aku nggak tahan liat kamu," ujar Cameron.
"Emang kamu nahan apa?"
"Nahan sayang ke kamu, pengen gitu enggak sayang ke kamu,"
"Dih! Kok malah kepengen enggak sayang, sih?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Enemy
Romance[ #16 in teenlit 09/05/18 ] [ #240 in teenfiction 06/08/18 ] [ #1 In enemy 24/03/19] (beberapa part ada yang di private. silahkan follow terlebih dahulu agar bisa membaca part di private) Anna Derulia, gadis berumur ini masih 18 tahun. Ayah dan B...