CHAPTER 10||The Secret

492 66 88
                                    

[!]
[!]
[!]
[!]











Kakinya tidak sabaran melangkah menuju pintu apartemen lantai lima itu. Dimana ia sudah memegang kunci cadangan di tangannya.

Ia sedikit bersenandung. Memainkan kunci yang tergantung dijarinya dengan senyuman yang tak pernah memudar dari awal ia pergi.



"Cah, aku menemukan mu."

Lee haechan mengamati pintu bernomor 231 itu. Membukanya dengan pelan.

Haechan mulai melepaskan sepatu yang dipakainya setelah menutup kembali pintu apartemen itu.



"Heum, wangi sekali. Aroma mu benar-benar membuatkan gila. Sekarang aku lapar. Haha tidak nyambung memang."

Haechan tak henti-hentinya mengoceh terkadang terkekeh geli akan ocehan nya sendiri.


"Sepi sekali dapurnya. Bahan masakan tidak ada sama sekali. Jika nanti aku menikah dengan nya, dia akan memasakkan aku apa? Cinta?"

Haechan membuka kulkas dan lemari dapur yang tidak ada isinya alias kosong.

Ia kemudian memilih duduk disofa. Mengambil ponsel disaku jas nya dan menelfon seseorang.

"Bawakan semua bahan makanan. Jangan ada yang terlewat. Begitu juga daging dan buah-buahan, sekarang juga. Aku akan kirim alamatnya."

Meletakkan kembali ponsel nya diatas meja sofa itu. Haechan melepas jas nya, menyapirkan pada lengan sofa. Dirinya bersandar, memejamkan matanya sebentar.




Cukup terkejut kala ia tersadar hampir saja tertidur. Ia melihat kearah layar ponselnya yang menunjukkan pukul 4 sore.

Terdengar bunyi ketukan dari pintu apartemen itu. Haechan beranjak masih mengumpulkan kesadarannya. Mengusal matanya sekilas.

"Tuan, ini yang anda minta"

"Taruh di tempatnya masing-masing. Aku membersihkan diri sebentar. Saat aku kembali, semuanya harus sudah selesai. Kalian mengerti."

Beberapa orang yang berdiri diambang pintu itu mengangguk paham. Mereka anak buahnya Lee Haechan. Satu persatu sudah sibuk dengan apa yang diperintahkan oleh tuan nya.

***











Teriakan yang saling bersahutan. Orang-orang yang berhamburan berlari kocar-kacir mencari perlindungan.

Namun seseorang masih dalam keadaan sama. Berjongkok dengan menekuk kedua kakinya yang bergetar serta kedua tangan yang berusaha menutup telinganya dari bising.

Matanya mulai berair. Ia kemudian bisa merasakan tangan seseorang yang menarik nya namun ia terlalu takut untuk membuka mata.

"Jenoo!! Ayo kita pergi jangan diam saja!"

Siyeon sudah kalang kabut. Ia menarik tangan Jeno. Anak itu masih terdiam disana.

"Ta-tapi, Appa? Eomma?"

"Apa yang kau bicarakan?! Ayo kita pergi dari sini!"

Siyeon harus berpikir keras kali ini. Setelah ia berhasil membawa Jeno ketempat yang aman. Ia tetap harus keluar dari tempat itu. Mereka tidak bisa terus sembunyi.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Siyeon dengan napas yang naik turun tidak beraturan.

Jeno tidak menjawab. Ia semakin menekan dan meremat kasar surai hitam nya.

Quandary [Jeno X Siyeon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang