Happy Reading 💕
"Lo beneran udahan?"
"Iya, gue udah capek."
"Gue jadi gak enak."
"Gue sendiri yang pengen putus Rent, jadi gak usah ngerasa gak enak gitu deh." Dinda tersenyum. Tentu saja dia bohong jika dia ingin putus, perasaannya masih pada Jiman.
Saat ini keadaan kantin sangat ramai. Meskipun ramai tetap saja suasana hati Dinda sedang sepi.
"Jiman ngeliatin lo mulu tuh," Dinda mengikuti arah pandang Karent. Benar saja, Jiman sedang mengamatinya dari kejauhan. Dia sedang bersama Huta dan Dio.
"Gak berubah pikiran? Kayaknya dia masih suka sama lo. Inget ya Tuhan Maha membolak-balik perasaan."
Dinda tak menjawab pertanyaan Karent dan memalingkan wajahnya dari Jiman. Baru tiga hari putus, kenapa berat banget sih.
***
Fero yang sedang mendrible bola orange terhenti ketika melihat Dinda dan Karent. Dia menghampiri dua anak itu. "Hai, mau kemana?"
"Kelas." jawab Dinda singkat.
"Jangan galak-galaklah. Oh ya gue dengar lo putus ya sama Jiman?" benar-benar menyebalkan. Kenapa Fero bisa tahu? Dia sudah seperti sasaeng dan cenayang!
"Gak usah penasaran dari mana gue tau. Apasih yang gue gak tau tentang lo." Karent yang mendengar itu menunjukan ekspresi ingin muntah.
"Rent kelas yuk, kesel gue lama-lama ladenin orang kayak gini!" Karent menuruti kata Dinda, saat hendak berbelok, Dinda menabrak seseorang. Dinda terdiam beberapa detik, ternyata itu Jiman yang juga menatapnya. Tatapannya seakan mengunci pergerakan Dinda.
"Boleh gue pinjem Dinda sebentar?"
"Boleh, bungkus juga boleh kok." kata Karent diiringi tawa kecil. Karent awas lo!
Jiman membawa Dinda ke taman belakang sekolah. "Apa lagi?" tanya Dinda to the poin.
"Aku mau jelasin semuanya. Tolong dengar dulu."
"Aku udah gak mau dengar apapun! Udah cukup kamu gak ngasih kabar, udah cukup aku ngekhawatirin kamu dan udah cukup aku nunggu! Udah, aku capek, kita ini udah selesai Jiman! Dan tolong jangan ganggu hidup aku lagi!" bentak Dinda yang baru sadar menjadi tontonan orang-orang sekitar.
Dinda pergi sambil mengusap air mata yang tak bisa ia bendung lagi. Sialan! Kenapa harus nangis di depan dia sih?!
Bel pulang berbunyi, membuat siswa mengembangkan senyum gembiranya. Terkecuali Dinda yang memasang wajah datar dengan tatapan kosong. "Bareng gue ya?" ajak Karent.
"Gue dijemput Papa Rent." Karent sebenarnya tak percaya. Tapi jika dia tetap memaksa yang ada Dinda makin buruk moodnya.
"Dindaaa laki lo nungguin tuh di depan!" Teriak
Salah satu teman Dinda. Karent tersenyum jahil. "Di jemput Papa apa di jemput pangeran?""Apaan sih!" Dinda mengibaskan tangannya. Karent tertawa geli dan pamit untuk pergi. Dinda menghembuskan nafas kasar. Dia sudah lelah jika harus berdebat dengan sang mantan.
"Apa lagi?" tanya Dinda dengan nada dingin.
"Pulang bareng gue." Jiman langsung menarik tangan Dinda dengan kuat. Sampai di parkiran Jiman memakaikan helm pada Dinda. Tentu saja hal itu membuat Dinda sesak nafas karena hanya satu jengkal jaraknya dengan Jiman. Dinda dapat merasakan hembusan nafas mantannya. "Naik."
"Gak mau!"
"Naik."
"Aku bilang gak mau!"
"Naik atau aku gendong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi! Jiman [SELESAI]
JugendliteraturJiman Hanya siswa biasa, tidak nakal, tidak juga berandal. Pertemuannya dengan Dinda telah merubah hidupnya menjadi nano-nano. Manis... Asin... Asam... Pahit ?