9 - Nasehat Ayah

32 7 2
                                    

Happy reading 💕




Seminggu lebih setelah kejadian itu. Karent dan Dinda tak pernah bertegur sapa. Dinda terus merasa tidak enak pada Karent.

Selama ini Dinda selalu sendiri. Melakukan apapun sendiri, mulai dari ke perpus, ke toilet dan ke kantin.

Dinda bisa dikatakan gadis yang ketergantungan dengan seseorang, semua aktivitasnya harus di temani oleh Karent. Tak jarang Karent menasehatinya agar bisa mandiri dan tidak ketergantungan dengan seseorang.

'Lo bayangin deh, kalo gue lagi ada acara atau urusan mendadak dan lo gue tinggal sendiri, gimana? Mau apa lo? Diem aja gitu? Terus kalo misalnya lo kebelet boker, tapi ga ada gue, gimana? Nahan sampe gue dateng? Iya kalo urusan gue cuma bentar. Nah kalo berhari-hari, berbulan-bulan gimana? Bisa kering tuh tinja di perut lo!"

Dinda tertawa kecil, setelah mengingat perkataan Karent.

"I miss you Karent." ucap Dinda sambil mengusap layar ponsel yang berisi foto Karent dengannya.

"Udah seminggu lebih loh Rent kita gak saling sapa, gak ngobrol, gak gibah. Lo gak kangen apa sama gue?" Dinda terus berbicara dengan ponselnya yang menampilkan foto Karent bersamanya. "Apa yang lo bilang bener Rent, gue terlalu tergantung sama orang, gue manja, gue gak bisa mandiri."

Dinda berdesis pelan. "Sampe kapan lo musuhin gue mulu? Gak bosen apa? Gak enak tau gak punya temen, temen deket gue kan lo doang. Aaaa Karent baikan dong."  Dinda terus menggerutu sendiri.

"Gak pulang?" suara itu sontak membuat Dinda menoleh.

"Duluan aja, gue masih pengen disini."

"Tapi sekolah udah sepi."

Dinda menghembuskan nafas kecil. "Duluan aja Jim, gue masih pengen disini. Lagian lo sendiri ngapain gak pulang?"

"Nungguin kamu." jawab Jiman sambil mengambil posisi duduk dekat Dinda.

Dinda menoleh ke arah Jiman. "Nungguin aku cuma akan buang-buang waktu kamu."

"Enggak. Kata siapa?"

"Kata aku barusan."

Kata aku-kamu dan lo-gue sering mereka pakai secara bergantian. Kadang tergantung mood mereka masing masing. Mengingat Jiman sudah tidak lagi kesusahan menggunakan kata lo-gue, Dinda sudah bisa berbicara dengan Jiman dengan santai tanpa takut salah ucap.

"Main yuk?" ajak Jiman.

"Kemana? Udah sore."

"Ya kemana aja biar gak bosen."

"Udah sore."

"Tau. Kalo udah sore ngapain masih disini?"

Dinda mendengus sebal. Berbicara dengan Jiman sama saja berbicara dengan Bu Lela, guru BK SMA Pancasila yang terkenal sangar. Mereka sama-sama bisa mengelak perkataan Dinda.

"Tuh kan diem. Udah mending main aja, yuk?"

"Iya, tapi main kemana?"

"Taman deket perumahan kamu aja, disitu kan banyak jajanan, mau gak?"

"Iya banyak. Tapi kamu yang beliin ya?"

"Aku beliin semua yang kamu mau."

"Kayak yang banyak duit aja." Dinda menjulurkan lidahnya dan berlari menjauhi Jiman.

Jiman berlari kecil menyusul Dinda. Mereka sesekali tertawa saat akan menghampiri Pak Kiman yang sedang menunggu.

"Pak kita ke taman deket perumahan Dinda ya."

Hi! Jiman [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang