Chapter 2

13 3 0
                                    

Sejak malam itu iko selalu saja di benakku..  Tentang beraninya ia menolong ku dari para lelaki brengsek itu...  Ia seperti membuktikan perkataannya saat itu satu pengalaman lucu di masa kecil,  saat aku,  iko,  fitri,  Farah dan Arya bermain petak umpet di kebun karet pakcik Abdullah, kami akrab memanggilnya "dolet"...  Awalnya lancar lancar saja, tapi saat giliran ku yang jaga,  aku seperti mendengar suara mencurigakan...

Mulai panik  menoleh kiri  dan kanan,  alangkah kagetnya dengan cepat babi hutan meloncat dari balik semak-semak..  " Hah? " Aku bingung tanpa berpikir apapun...
Tapi  di arah berlawanan, iko dan Arya sigap melompat dari semak-semak membawa sebatang kayu besar...  Dan langsung memukul babi itu tanpa takut sedikit pun,  iko memukul kakinya sampai terjatuh  sedangkan Arya menusuk lehernya hingga babi itu menggelepar berlumur darah..

Fitri dan farah kaget keluar dari persembunyian....  "Ada apa? " Aku yang masih syok diam termenung..
Arya menarik paksa kayunya dari leher babi hutan itu hingga lehernya robek memuncratkan banyak  darah "babi"
Fitri merangkul pundak ku menenangkan "kita pulang saja ya... "
Arya menendang bangkai babi dan berlalu pergi duluan... Iko menatapku "ya,  kita pulang, kasian Sarah"...
Di perjalanan pulang aku sempat bertanya pada Arya " Kok bisa berani gitu? " Arya hanya memainkan kayunya...
Iko tersenyum ramah padaku "kami akan selalu melindungi teman kami,  tenang saja... "

***
Di sisi lain aku pun menyesal telah membuat mak menangis malam itu,  menangis merasa gagal sebagai orangtua. Seharusnya aku mengerti beliau bukan hanya menangis biasa tapi juga menangis penuh sesal dan frustasi karena apa yang beliau ajarkan selama ini pada anaknya tak dapat diamalkan dengan baik.
Berapa banyak kisah indah saat ia tersenyum memberi kisah teladan salafus-shalih saat menyisir rambut anaknya,  berapa banyak kisah indah saat ia mengajar  anaknya membaca huruf hijaiyah dengan benar,  betapa banyak senyum saat ia mencoba menjelaskan fiqh wudhu dan shalat semampunya sambil menatap ekspresi polos anaknya yang  bingung?  Tapi apa?....
Seandainya aku sadar saat itu,  tapi bodohnya aku belum mencoba berhenti..

Aku melamun didepan  pintu menatap madrasah yang tepat berada didepan rumah ku....
......
Hening ku hilang saat fitri melintas sambil melakukan berapa gerakan pukulan..  "Ngapain dia? " Kataku dalam hati Memanyunkan bibir.

"Uy! " Menyapa nya..

"Hah? " Mengangkat dagu,  menghampiri ku...

Senderan di tiang kayu rumah "darimana? "

"Lapangan bola" Sambil berjalan mendekati ku.

"Renang? "

"Ealah "  Jongkok didepan ku,  "silat" Lanjut  fitri.

Aku mengerutkan kening "sejak kapan ada? "

"Pokdo zenal pulang "
Pokdo zainal adalah salah satu  pamanku dan fitri  masih sepupu ku, usia kami dan pokdo tidak jauh beda, hanya tujuh tahun...  Empat tahun belakangan ia merantau ke kota melanjutkan kuliah katanya,  jadi polisi.

"Eh" Aku agak kaget,  menoleh ke arah kiri jalan arah kelapangan bola...  Tersenyum kecil  "gimana dia? "

Fitri menunduk mengorek-ngorek tanah dengan lidi kecil "prestasinya bagus,  cerdas" Senyum menampakkan gigi,  nyengir "jadi sersan dia"

Aku langsung menoleh  ke fitri,membuka mata lebar "serius?,  masya Allah..."

Fitri mengangguk..

"Kesana yuk! "  Aku berseru senang..

Fitri menatap datar "udah"

"Temeni lah! "
Fitri berdiri "mau makan Sarah... Sanalah,  ada iko disana "

kabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang