Dua Puluh

2.4K 465 21
                                    


Mari Lanjut berdrama 😚

Happy reading 🤗

________________________________________________________________________

Gue tunggu di halte.

Savika membaca pesan yang dikirimkan Abrar sebelum meraih tas sekolahnya, lalu keluar rumah setelah berpamitan.

Jarak dari rumah ke gerbang perumahan tidak begitu jauh, jadi hanya membutuhkan waktu cukup singkat bagi Savika untuk keluar gerbang perumahan dan berjalan menuju halte yang jaraknya juga tak sampai seratus meter.

Savika bisa melihat Abrar dalam jarak beberapa meter dari halte. Rasanya seperti déjà vu. Savika teringat awal-awal mereka pacaran, Abrar menunggunya di halte karena tak tahu rumahnya. Rasanya seperti sudah lama, padahal itu baru sekitar tiga minggu yang lalu.

Savika mengesah. Usia pacaran mereka bahkan belum satu bulan dan saat ini berada di ambang putus. Meski belum ada pembicaraan mengenai itu, namun melihat permasalahan yang mereka hadapi mengarah ke sana. Kemunculan orang ketiga memang mudah sekali merenggangkan hubungan.

Tak ingin berpikir lebih banyak karena sudah lelah, Savika mempercepat langkah. Yang akan terjadi biarlah terjadi. Ia pasrah jika Abrar akan meninggalkannya. Sakit pasti, tapi ia yakin akan baik-baik saja. Sebelumnya ia baik-baik saja tanpa Abrar. Walupun harus ia akui, kebersamaan mereka meski sebentar, terasa melekat di hati.

Abrar tersenyum saat melihat Savika. Ia langsung menjulurkan helm ketika Savika sudah berdiri di dekatnya. Tanpa banyak bicara, Savika menerima helm itu dan langsung memakainya.

"Tumben nggak sama Salma?" tanya Savika di sela kesibukan mengunci helm.

"Kenapa harus? Dia kan bukan pacarku."

Tidak dimungkiri Savika merasa senang mendengar ucapan Abrar. Itu artinya Abrar tak menganggap Salma spesial, kan? Berarti omongan Salma kemarin hanya bualan, kan?

"Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu jemput dia?" Meski begitu, Savika tak ingin menunjukkan perasaannya.

"Nggak," bantah Abrar langsung. "Gue nunggu lo di gerbang perumahan, tapi selalu dia yang muncul duluan. Jadi, ya... gitu. Lo tahu, lah. Papanya bahkan nitipin dia ke gue. Mana bisa gue nolak."

"Hm... berarti kamu sudah dianggap menantu."

"Apa, sih? Gue udah bilang kok ke orangtuanya kalau kami cuma teman."

Savika hanya mengedikkan bahu seolah tak peduli.

"Ya udah, yuk naik!"

Savika menurut dan Abrar langsung melajukan motornya meninggalkan halte bus. Savika jadi berpikir, mungkinkah Abrar memilih menunggu di halte bus bukannya di gerbang perumahan agar tidak bertemu Salma lagi? Kalau benar seperti itu, berarti Abrar berniat menjauhi Salma, kan? Berarti Salma bohong kan, kalau katanya Abrar masih suka dia?

Diam-diam Savika mengulum senyum tipis di balik helm yang menutupi wajahnya.

***

"Entar kita double date, ya!" Ervika berujar antusias.

Savika mengangkat kepala dari buku tulis yang sedari tadi ditekuninya dan menoleh menatap Ervika yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya. Teman sebangkunya menghilang entah ke mana. Hari Sabtu di sekolah memang cenderung santai. Hanya ada beberapa mata pelajaran dan itu pun pelajaran yang tidak terlalu memeras otak seperti seni budaya atau seni musik. Dan seringnya guru hanya akan meninggalkan tugas.

April FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang