Dua Belas

2.8K 559 103
                                    


Bab ini... nggg... hahaha... baca ajalah 0^o^0

Note: Siapkan air dingin, biar nggak emosi ^^v

____________________________________________________________________________________


Abrar tidak mengerti kenapa ia bisa berakhir di sini. Di Starbucks, dengan segelas frappuccino dan sepotong red velvet. Selepas latihan futsal seharusnya Abrar menjemput Savika di LBB, tetapi ia malah mengirim pesan tidak bisa menjemput karena ada keperluan mendadak. Dan keperluan mendadak itu adalah Salma.

Hari ini lagi-lagi cewek itu datang saat Abrar latihan dan memberinya minuman segar, bahkan menunggunya sampai selesai berganti baju. Kalau seperti itu, mana mungkin Abrar bisa mengabaikannya. Mengusir juga rasanya tidak sopan. Jadilah Abrar duduk-duduk sebentar bersama Salma di taman sekolah, mengabaikan Ervika yang memberinya tatapan tidak suka. Toh cuma ngobrol, tidak akan merugikan siapa pun.

Namun, yang Abrar tidak tahu, cara pendekatan Salma tak sesederhana itu. Ia sudah belajar banyak dari sinetron yang sering ditontonnya. Jadi, ia sudah merencanakan dengan saksama. Setelah ngobrol sebentar, Salma, dengan pandangan memelas ala gadis rapuh, meminta Abrar mengantarnya ke rumah teman untuk mengambil mobilnya yang tadi dipinjam. Dan sekali lagi, Abrar tidak mampu menolak.

Niat awal Abrar adalah mengantar Salma sebentar, baru sekalian menjemput Savika dalam perjalanan pulang. Namun, sekali lagi niat itu tidak bisa terlaksana. Di tengah perjalanan, Salma mengatakan temannya baru saja mengirim pesan agar Salma tidak usah datang ke rumahnya. Ia sedang keluar dan meminta bertemu di kedai kopi langganan mereka.

Sudah kepalang tanggung, tidak mungkin Abrar meninggalkan Salma di jalan. Terpaksa ia menghentikan sejenak motor di tepi jalan untuk mengirim pesan pada Savika jika ia tak bisa menjemput. Dan di sinilah akhirnya mereka berada. Di Starbucks, bersama Salma yang duduk di seberang mejanya.

"Maaf ya, Brar, aku jadi ngerepotin kamu."

"Nggak masalah," balas Abrar. Tidak mungkin Abrar mengatakan kalau Salma merepotkan. Sesungguhnya ia memang tidak merasa direpotkan, kecuali merasa bersalah pada Savika.

Menit demi menit berlalu hingga mungkin jam juga sudah berganti, dihabiskan Abrar dengan menanggapi obrolan acak dari Salma. Minuman di gelasnya sudah hampir habis, kuenya malah sudah tandas sedari tadi. Namun, teman yang katanya akan mengembalikan mobil Salma tak kunjung datang.

Abrar sudah bosan sebenarnya. Berdiam diri di satu tempat sambil minum kopi dan mengobrol tidak jelas bukanlah gayanya. Satu-satunya ruangan tertutup yang mampu membuatnya betah berlama-lama duduk hanya bioskop—dua tempat kalau kamar juga dihitung. Bahkan di kelas saja ia tidak bisa benar-benar duduk diam.

"Teman lo mau datang kapan katanya?" tanya Abrar sembari menengok jam tangannya. "Kita udah satu jam lho di sini."

"Nggak tahu. Dia nggak balas pesanku," balas Salma. Sambil memasang wajah sendu, ia kemudian berujar, "Kalau kamu mau pulang duluan juga nggak apa-apa. Biar aku tunggu di sini sendiri."

Ditatap seperti itu, mana tega Abrar meninggalkan Salma.

***

Pada hari biasa, jam bimbingan belajar Savika berakhir tiga puluh menit lebih lama daripada waktu latihan futsal Abrar selesai—latihannya pun dimulai setengah jam lebih awal dari jam masuk Savika. Namun, karena hari ini ada tes dan Savika sudah selesai sebelum batas waktu ditentukan, ia keluar kelas 20 menit lebih awal—sebenarnya ia sudah menyelesaikan soalnya satu jam lebih awal, tetapi ia tak langsung keluar dan memilih mengecek kembali jawabannya beberapa kali. Ia lalu duduk di bangku panjang di bagian depan gedung LBB untuk menunggu Abrar. Seharusnya sebentar lagi Abrar datang. Latihannya selesai sepuluh menit lalu, dengan catatan jam latihan tidak ditambah.

April FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang