Pas April Mop, gue berniat ngerjain temen kecil gue, Ervika. Gue menulis surat cinta dan meminta Gavin, sahabat gue buat ngasih pernyataan cinta gue ke Ervika. Entah gimana, surat itu malah sampai ke anak baru yang bernama Savika.
Cewek itu dengan m...
Sebagai permintaan maaf karena minggu lalu nggak update, nih saya kasih yang manis-manis untuk menghibur kalian (meski belakangnya agak asem, sih *lol)
*apaan sebagai permintaan maaf, memang sejak awal jalan ceritanya sudah begitu* (~.~)
Baiklah, saya nggak mau memperpanjang kata lagi (sebelum kena timpuk) :p
Di kencan kedua mereka kali ini, Abrar dan Savika hanya berjalan-jalan di pusat pertokoan. Tidak seperti hari Sabtu sebelumnya, kali ini mereka baru bisa keluar dari sekolah agak sore karena Abrar harus latihan terlebih dahulu. Hari kompetisi makin dekat, Abrar tidak bisa bermain-main lagi. Lagi pula, pelatih sudah kembali, bisa diomeli ia kalau masih suka bolos.
Sesuai permintaan Savika, spot pertama yang mereka tuju adalah toko buku. Cewek berkucir dua yang sudah melepas kacamatanya itu langsung menuju bagian novel, sementara Abrar berburu komik.
Savika melihat-lihat deretan novel bergenre misteri atau thriller. Sesekali meraih dan membaca blurb di bagian belakang buku, lalu meletakkan lagi ke tempatnya. Bukan karena tidak ada yang menarik, hanya saja setelah ia menghitung-hitung anggaran, sepertinya ia tak bisa membeli buku lagi. Bulan ini ia sudah banyak menggunakan uang jajannya—sebagian besar untuk membeli buah-buahan.
Bukannya uang sakunya benar-benar habis, tetapi Savika sudah memisah-misahkan anggaran selama satu bulan untuk melatih disiplin. Untuk jajan, keperluan sekolah, transportasi, juga untuk ditabung dan dana untuk keperluan darurat. Bisa saja ia menggunakan anggaran untuk ditabung atau keperluan darurat, tapi tidak. Jika sekali saja Savika melanggar aturan yang ia buat sendiri, untuk selanjutnya ia akan merasa tergoda melakukannya lagi.
Savika juga tidak bisa meminta tambahan uang saku pada orangtuanya. Mereka pasti akan memberi, tapi menurut Savika, itu akan mendorongnya jadi pemboros. Tak apalah. Beli bukunya bulan depan saja. Meski memutuskan demikian, tatapan Savika tak lepas dari sebuah buku keluaran baru karya penulis favoritnya.
Savika berjengit saat sebuah tangan terulur dari belakang tubuhnya dan meraih sebuah novel yang sedari tadi dipandanginya. Refleks ia menoleh dan matanya membeliak saat mendapati wajah Abrar begitu dekat dengannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seakan tak terganggu dengan posisi tubuh mereka yang nyaris menempel, Abrar mengamati buku di tangannya, membalik untuk membaca blurb. Mengabaikan Savika yang lagi-lagi dibuat memerah karena perbuatannya.
"Kayaknya seru. Mau beli ini?" tanya Abrar.
Savika menggeleng gugup. Dadanya bergemuruh karena posisi mereka yang masih belum berubah.