Sudah sampai chapter lima, nih
Semoga masih ada yang tertarik untuk lanjut
Selamat membaca :)
___________________________________________________________________________________
Seolah tidak memiliki skenario lain atau mungkin kekurangan imajinasi, hari ini pun Salma melancarkan aksi sama seperti kemarin. Savika yang tidak mau terjatuh di lubang yang sama, memilih berangkat sendiri lebih awal. Saat tantenya bertanya, ia beralasan sedang piket kelas. Entah besok jika Salma kembali berulah, tidak mungkin ia menggunakan alasan yang sama. Mungkin ia bisa bilang ada tugas. Entahlah, biar Savika pikirkan besok saja.
Beberapa meter lagi Savika sampai di halte. Namun, kakinya refleks berhenti melangkah begitu pandangannya menangkap sosok yang ia kenali tengah duduk di atas motor yang terparkir di dekat halte. Sosok itu tampak seperti tengah menunggu seseorang. Bolehkah Savika berharap orang yang ditunggu adalah dirinya?
Dengan kaki gemetar dan jantung berdebar kencang, Savika melangkah menghampiri sosok itu. "Abrar?"
Abrar yang mulanya menatap ke arah lain sontak menoleh. "Hei!" sapanya dengan senyum merekah di wajah tampannya. "Akhirnya lo datang juga. Gue sempat ngira lo udah berangkat."
"Kamu... nunggu aku?" tanya Savika.
Abrar mengangguk. "Memangnya nunggu siapa lagi?" jawabnya. "Kan kemarin gue udah bilang, kita berangkat bareng setiap hari."
Sekali lagi Abrar mampu membuat wajah Savika memerah. Apanya yang bilang mereka berangkat bareng setiap hari? Seingat Savika, kemarin Abrar hanya menawarkan berangkat bersama setiap hari. Itu pun tak dijawab oleh Savika karena terlalu malu. Lagi pula, Abrar mengatakannya dengan nada main-main. Mana ia tahu kalau ternyata cowok itu serius.
"Ya udah, yuk berangkat! Keburu macet entar," ajak Abrar seraya memakai helmnya.
Kali ini Abrar sudah menyiapkan helm dobel. Savika menahan tangannya agar tidak terlalu gemetar saat menerima helm yang diangsurkan Abrar. Perasaannya saat ini campur aduk. Senang, tapi juga gugup. Selalu seperti ini setiap kali bertemu Abrar. Tapi biasanya, seiring waktu berjalan, kegugupannya akan memudar.
Setelah memastikan Savika duduk dengan benar dan memintanya berpegangan, Abrar segera melarikan motornya. Kali ini dengan kecepatan standar karena tak diburu waktu. Tapi karena masih pagi dan jalanan tak begitu macet, juga Abrar jago menyelip di antara kendaraan, mereka tiba di sekolah dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit.
"Kali ini gue nggak mau nerima traktiran," ujar Abrar setelah Savika mengucapkan terima kasih.
Savika mengangguk. Sejak awal juga ia tak berniat mentraktir Abrar makan siang lagi. Ia sudah tahu Abrar tak akan setuju. Lagi pula, mana cukup uang jajannya kalau harus mentraktir terus-terusan.
Dalam perjalanan menuju kelas, Savika terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Tetapi ia tak tahu bagaimana memulainya. Apa langsung meminta begitu saja? Apa tidak masalah seperti itu? Apa nantinya Abrar tak akan menganggapnya terlalu agresif? Tapi bukankah itu hal wajar bagi sepasang kekasih?
"Oh iya!" Seolah baru mengingat sesuatu yang penting, Abrar menghentikan langkahnya. Savika sontak ikut berhenti melangkah dan menatap Abrar. "Gue minta nomor hape lo, dong! Gue baru ingat nggak punya nomor lo. Gue kan jadi susah kalau mau hubungin."
Savika membeliak. Apa Abrar membaca pikirannya?
"Biasa aja dong, mukanya," ujar Abrar setelah melihat reaksi Savika. "Pasangan bertukar nomor ponsel kan wajar."
![](https://img.wattpad.com/cover/165829728-288-k722612.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
April Fool
Teen FictionPas April Mop, gue berniat ngerjain temen kecil gue, Ervika. Gue menulis surat cinta dan meminta Gavin, sahabat gue buat ngasih pernyataan cinta gue ke Ervika. Entah gimana, surat itu malah sampai ke anak baru yang bernama Savika. Cewek itu dengan m...