Sore itu, kafe Rosette di kota S, suasana di dalamnya masih sangat damai meskipun jalanan di luar sana sangat ramai dengan lalu lalang orang-orang di trotoar dan kendaraan di jalan raya yang terus melaju tanpa henti. Para pelayan dengan rapi melayani para pelanggan. Di sana, Elizabeth dan Iris duduk dengan nyaman di dekat jendela. Memperlihatkan keramaian di luar.
Sebelumnya saat bel pulang berbunyi, Iris segera menyeret Elizabeth untuk keluar bersamanya. Bingung memilih kemana mereka akan pergi sambil berjalan kesana-kemari hingga akhirnya Elizabeth mengusulkan untuk pergi ke kafe favoritnya. Jika dia tidak mengusulkan secepatnya, mungkin Iris akan terus menyeretnya kesana-kemari tanpa tujuan.
Elizabeth menghela nafas saat mengingatnya. Iris benar-benar membuatnya lelah.
Sementara itu orang yang dia salahkan masih dengan nyaman memakan hidangan di meja.
"Jadi, kamu tidak menyeretku denganmu hanya untuk membayar makananmu kan?" Tanyanya sembari menatap Iris yang duduk di depannya.
"Apa! Tentu saja tidak." Sanggahnya cepat. "Aku hanya ingin berbicara denganmu" katanya jujur.
"Oh"
"Apa-apaan reaksi itu. Aku hanya ingin tahu tentang hubungan persahabatanmu dengan Jessica." Dia menatap Elizabeth dengan serius.
"Apa yang ingin kamu ketahui?" Tanyanya dengan alis yang naik ke atas dan berhenti menyeruput cappucino nya.
"Apa kamu benar-benar menganggap Jessica sebagai orang yang baik hati?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
Iris segera mencondongkan tubuhnya ke arah Elizabeth. "Asal kamu tahu, di mataku Jessica sebenarnya mencoba mendekati Alex sejak dia masih menjadi tunanganmu. Juga, aku baru sadar kalau sebagian besar berita tentangmu berasal dari Jessica. Dalam berita itu, ada beberapa rahasia buruk yang sepertinya tanpa sengaja diutarakan. Sekarang aku berpikir sepertinya dia dengan sengaja mengatakannya tanpa merusak citra sahabat yang baik miliknya. Jadi dia berpura-pura tidak sengaja mengatakannya, yang menyebabkan rumor buruk tentangmu." Wajah seriusnya berubah menjadi cemoohan.
"Ah! Tapi aku tidak bermaksud untuk menggoyahkan persahabatan kalian atau semacamnya. Aku hanya ingin kamu mengetahuinya." Timpalnya segera.
Elizabeth tertawa dengan reaksi Iris yang berlebihan. "Tenang saja. Aku tahu ini juga demi kebaikanku sendiri." Dia juga ingin tahu lebih banyak tentang pandangan orang-orang tentang Jessica. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk menghancurkan topeng miliknya.
"Syukurlah kalau kamu mengerti." Dia lega kalau Elizabeth mengerti. Dia merasa Elizabeth sangat menyedihkan. Ditinggal tunangannya dan dikhianati oleh sahabatnya, apalagi disalah pahami sebagai gadis yang jahat. Dia percaya, siapapun yang melihat Elizabeth dari sudut pandangnya pasti akan merasa kasihan juga padanya seperti yang dia rasakan.
Iris tidak tahu kalau orang menyedihkan yang dia pikir rapuh bisa membuat orang lain lebih menyedihkan dari pada dia.
Begitu Iris mengetahui Elizabeth tidak tersinggung, dia berbicara dengan santai. Membicarakan banyak hal dan melupakan percakapan mereka tentang Jessica. Tanpa sadar menjadi teman dekat. Begitu hari menjelang malam, Iris segera pulang. Sementara Elizabeth masih disana dan memesan cappucino lagi. Begitu dia meminum cappucino yang dia pesan, dia tersadar akan rasanya yang berbeda dari cappucino yang dia pesan di awal. Rasa cappucino ini adalah yang dia rasakan saat pertama kali dia datang ke kafe ini. Rasa yang sama dengan yang dibuat wakil ketua timnya.
Saat itu juga dia menyadari sesuatu.
Rasa cappucino yang sama dengan yang dibuat wakil ketuanya . . .
Barista yang familiar . . .
Rumahnya di kota S telah dibeli oleh seseorang, yang seharusnya surat kepemilikan tanah ada pada ketua timnya . . .
pemilik baru kemungkinan dekat dengan ketua timnya . . .
Pemilik baru rumahnya adalah seorang barista di kafe ini . . .
Sebuah senyum menyebar di wajah cantiknya. Kenapa dia tidak menyadarinya sejak dulu . . . Ternyata firasatnya benar. Dia tahu siapa barista yang menurutnya sangat familiar itu. Sebuah kemungkinan yang tidak terpikirkan olehnya sebelumnya muncul dalam pikirannya saat itu juga.
Dia memanggil seorang pelayan. "Tolong bantu aku mengirimkan pesan pada barista yang membuat cappucino ini, bisakah?" Tanyanya.
Meskipun pelayan itu bingung dengan permintaan Elizabeth, dia tetap menerimanya demi kenyamanan pelanggan.
"Bagus, tolong katakan padanya . . . "
🐾🐾🐾
Diantara beberapa pelayan, seorang barista tengah sibuk membuat kopi. Terlihat di usia awal 40-an. Dia masih sibuk hingga seorang pelayan menghampirinya. Membuatnya menghentikan kegiatannya.
" Ada seorang pelanggan yang menitipkan pesan padaku untukmu." pelayan itu merendahkan suaranya, sementara barista itu masih menunggu pelayan itu melanjutkan dengan wajah datar.
"Dia berkata, Cappuccino anda masih sangat enak bahkan jika saya telah merasakannya berkali - kali. Rasanya membuatku nostalgia, mengingatkanku pada Tuan Knight yang juga memiliki rasa yang sama dengan cappuccino anda. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Begitulah katanya. Seingatku dia sering kemari dan memesan cappuccino yang kamu buat." Pelayan itu terus berkata tanpa mengetahui raut wajah barista didepannya yang semakin kaku.
" Terima kasih telah memberitahu" katanya dengan wajah yang kembali normal.
Pelayan itupun segera pergi setelah memberitahukan pesan yang dititipkan padanya.
Barista itu hanya diam tapi matanya menjadi tajam seperti bisa menusuk orang yang dia lihat. Sangat berbeda dari barista biasa.
🐾🐾🐾
Elizabeth duduk menikmati cappucino dengan damai. Tapi tiba-tiba sebuah bayangan menutupi dirinya, detik berikutnya dia mendongak dan melihat seorang pria paruh baya yang mengenakan baju seorang barista berdiri di depannya. Raut wajahnya terlihat sangat ramah, tapi dia bisa merasakan aura berbahaya darinya.
Dalam hati dia terkejut saat melihat wajah itu. Bahkan jika dia sudah menebak kalau itu adalah orang yang dia kenal, dia masih tertegun.
Itu memang dia.
Wakil ketua timnya . . .
Steve Knight.
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebirth : LIZ
General Fiction~my story~ ~no plagiat~ ~follow dulu sebelum baca~ { HIATUS } Ringkasan : Dalam misi terakhirnya, seorang rekan menghianati timnya. Menyebabkan kehancuran tim dan kematiannya yang tidak diinginkan. Saat dia percaya dia telah mati karena dikhianati...