Setiap tahun, mahasiswa penaik tensi itu ada saja.
--Dosen yang frustrasi--
____________________________
Naya semakin panik. Ia berusaha keras memberantas kedekatan di antara mereka.
"Pa-Pak, ja-jangan deket-deket." Telapak tangannya terangkat untuk mendorong, tetapi tidak jadi sewaktu baru menyentuh permukaan kemeja putih yang Alan kenakan.
Hiiii... sentuh-sentuh dada laki-laki. Tangan gue bisa melepuh. Keras, kenyal, empuk. Laknat!
"Kenapa?" Alan membalasnya dengan tersenyum miring.
Naya menahan napas.
"Soalnya ka-kata mama saya, kalau ada dua manusia beda jenis deket-deketan, tengahnya setan, Pak. Sa-saya enggak suka setan." Penjelasannya mulai ngawur tingkat dewa, tapi aslinya memang hanya itu yang melintas di kepala Naya.
"Saya memang setan, Naya." Ia tertohok. "Saya bosan menjadi malaikat terus-menerus," cetus Alan membuatnya megap-megap.
Dosennya sedang menjadi setan? Makhluk bertanduk yang suka menggoda manusia itu? Tanpa bisa dicegah, sesuatu keluar sebagai manifestasi dari ketakutan tak berujung yang menyerang Naya.
Ia berbisik, "Ka-kalau gitu, Bapak enggak nyium sesuatu?"
Alan mengangkat satu alisnya. Sesuatu apa maksud Naya? Mahasiswi ajaib ini punya pemikiran yang berbeda dari manusia kebanyakan. Ia harus waspada agar tidak terkena jebakan Batman. Belum sempat Alan mengajukan pertanyaan, tubuhnya langsung tersentak mundur.
"Naya! Bau apa ini?"
Endus... endus... ugh! Perpaduan antara petai, jengkol, dan comberan mengudara. Alan tidak tahan lagi. Dengan langkah berderap, ia berjalan menuju kamar mandi lalu memuntahkan isi perutnya di sana.
Naya menggaruk tengkuknya salah tingkah. Tenggelamkan dirinya, Tuhan! "Ma-maaf, Pak. Saya pas grogi emang begitu. Susah ditahan, tahu-tahu keluar tanpa izin." Ia meringis. "Kentutnya wangi kan, Pak?"
Demi segala hal yang paling menjengkelkan di bumi, Alan menahan diri untuk tidak berteriak marah gara-gara mencium bau gas beracun mahasiswanya. Tubuhnya membungkuk di wastafel, berusaha keras menguras isi perutnya. Ya Tuhan, salah apa dia sampai kena hukuman begini?
Di ambang pintu kamar mandi, Naya mengintip dosennya takut-takut. Ternyata pepatah kuno yang menyatakan bahwa senjata alami pelumpuh manusia berasal dari manusia itu sendiri benar ya. Mulai sekarang, Naya janji tidak akan tanya-tanya lagi. Semuanya telah teruji.
"Bapak butuh apa buat redain mual? Biar saya ambilin," ujarnya berinisiatif saat Alan menuntaskan hajat muntahnya. Atas dasar kemanusiaan sekaligus rasa bersalah, Naya tergerak membantu.
"Permen mint." Napas laki-laki itu berkejaran. "Saya butuh itu, tolong."
Naya merogoh tasnya. Untung tadi sebelum ke kampus, ia sempat menyambar harta karun di meja Sela. Mereka sama-sama suka mengunyah permen waktu sedang gabut atau mengerjakan tugas. Kalau Naya kosong, Sela yang ready stock. Begitu juga sebaliknya.
"Ini permen poppo, Pak. Terus ini minumnya."
Bungkus kecil berikut botol air mineral itu disambar cepat. Tanpa menunggu lama, isinya segera berpindah ke mulut Alan. Tubuh jangkung laki-laki itu bertumpu pada tepian wastafel sambil mengunyah permen.
"Saya tidak habis pikir...," laki-laki berwajah pucat itu mengusap keningnya yang dibanjiri keringat dingin dengan tisu kering, "dosa apa saya di masa lalu sampai punya anak didik seperti kamu. Ya Tuhan...," ia mendesah, "saya tobat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eavesdrop [TAMAT]
RomanceKatanya, dia galak. Katanya, dia suka bantai mahasiswa. Katanya, dia pelit nilai. Katanya lagi, dia gay. Naya pusing mendengar kalimat-kalimat pengantar super buruk itu. Maha-siswa. Seharusnya titel itu terdengar keren untuk diucapkan. Hitung-hitung...