Before coolyeah : Asyik kali ya jadi anak kuliahan. Bebas dari pengawasan ortu, pakai baju bebas, masuknya suka-suka.
After coolyeah : Ya Tuhan, kenapa isi hidup ini hanya bikin laprak sama tugas terus ujian? Besok mesti pakai baju apa pula?
--Cuitan mahasiswa stres gegara duit fotokopi--
____________________________
Naya menggendong laptop miliknya di depan dada sembari berlari mengekori Alan yang tiba-tiba berteriak. Suasana di sekitar ruangan dekan betulan horor. Langkah kakinya terdengar jelas mengisi kesenyapan, memaksa dirinya sadar jika penghuni gedung dekanat bisa dihitung jari sepagi ini.
Saking fokusnya dengan ketukan langkah kaki sendiri, Naya lupa tujuannya berlari apa. Ending-nya, ia justru gagal mengerem kakinya dan menubruk Alan yang tengah berjongkok.
"Remuk dah pinggang saya, Pak." Kesambet apa Alan pasang mode patung hidup? "Bapak ngapain jongkok-jongkok segala, sih?"
Alan mengerang. Punggungnya terasa nyeri setelah ditiban tubuh Naya dengan semena-mena.
"Naya, bisakah kamu waras sebentar saja? Seseorang baru meletakkan bangkai di tengah koridor. Saya mau membuangnya, kenapa kamu malah menubruk saya?"
Naya terperanjat. Dengan kelincahan terlatih akibat sering mengelak waktu mamanya ingin menabok, ia berhasil berdiri dengan dua kakinya. Barusan Alan bilang apa?
"Bangkai?" gumamnya terheran-heran. Apa benar jika hantu-hantu di koridor dekanat menaruh dendam kesumat pada Alan sehingga menghadiahkan parfum busuk ulalanya?
Matanya mengamati ekspresi kesakitan sang dosen dan bangkai di dekat kakinya. Seketika Naya menyingkir jauh-jauh.
"Kamu membawa laptop sambil berlari?" tanya Alan setelah berhasil duduk.
Kepalanya berulang kali meneleng ke kanan dan kiri untuk mengatasi nyeri dan pegal yang menyerang bersamaan. Satu tangannya terulur melepas sepatu yang terkena darah demi meminggirkan bangkai tikus putih ke dekat tempat sampah.
Naya menunduk. Oh, laptop? Iya juga. Kenapa dirinya lari sambil membawa ini?
"Saya kira tadi maling, Pak, makanya tanpa sadar saya bawa laptop sambil lari," tuturnya.
Ia sedikit heran dengan caranya berlari sambil memeluk laptop. Hebat sekali tidak jatuh, padahal waktu membawa ponsel naik tangga saja dulu berakhir dengan pink stroberi.
Laki-laki itu menggeleng pasrah. "Saya menyerah memahami jalan pikiran kamu." Dari sekian banyak dugaan mengapa justru maling yang terlintas di benak gadis ini? "Kemarikan laptop kamu, Naya."
Naya berjongkok untuk menyamakan kedudukan. "Buat apa, Pak?"
Tanpa menjawab, jemari Alan langsung menari di atas keyboard begitu laptop Naya berpindah kepemilikan. Ada beberapa hal yang harus dia lakukan untuk mengejar orang yang kemungkinan besar adalah musuhnya. Eksploitasi kemampuan tentu saja dimanfaatkan di sini.
"Saya perlu mengecek CCTV untuk menemukan petunjuk," jelas Alan tanpa mengalihkan fokus dari perangkat elektronik di tangannya.
Naya mencondongkan tubuhnya. "Kenapa lacaknya lewat CCTV, Pak? Biasanya di film-film, saya lihat hacker bobol satelit buat nemu buronan mereka."
Judulnya sedang menggugat kemampuan Alan sekaligus mengingatkan beliau akan definisi elite. Yang tingkatannya lebih tinggi kan ada, kenapa harus CCTV?
"Naya..." Alan mengarahkan kursor untuk memperbesar sudut tangkapan sosok berjaket hitam yang keluar dari pintu darurat gedung dekanat. Resolusinya sangat buruk sehingga ia ragu bisa memperbaikinya nanti. "Untuk mengetahui kontak personal si penguntit, saya harus bersinggungan dengannya setidaknya sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eavesdrop [TAMAT]
RomanceKatanya, dia galak. Katanya, dia suka bantai mahasiswa. Katanya, dia pelit nilai. Katanya lagi, dia gay. Naya pusing mendengar kalimat-kalimat pengantar super buruk itu. Maha-siswa. Seharusnya titel itu terdengar keren untuk diucapkan. Hitung-hitung...