📜 Absen dong pembaca Eavesdrop dari kota mana aja :)
Me : Poor-wo-care-tho
______________________________
Hukum rimba: siapa yang menyatakan lebih dulu, dia-lah yang kalah. Laki-laki tidak suka mengalami kekalahan. Itulah sebabnya merakit dinamit selalu lebih mudah daripada mengutarakan perasaan.
--Pengakuan Dosa Alan--
______________________________"Pak Alan..." apa yang ia dengar berkebalikan dari dugaannya. Naya menggeleng tak percaya, "saya mau pindah kampus setelah UTS."
Jika saja Naya punya sebelas jempol, ia tak akan ragu mengacungkannya pada diri sendiri. Gesekan statis mata dengan mata mulai melembapkan telapak tangannya. Ketegangan yang membekukan rona wajah Alan mengirimkan serangkaian gigil ke sekujur lengannya. Namun di atas itu semua, Naya tetap mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Harga diri yang menang banyak di sini.
"Pin-dah. Wow." Alan bergumam lambat-lambat. Senyum sinisnya muncul. "Ya sana pindah. Memangnya kamu siapa sampai harus melapor ke saya segala?"
Naya menyunggingkan senyum kecut. Tanding aura dengan Alan jelas hanya menghasilkan kejengkelan tiada tara. Menghadapi hiu Jaws pun rasanya lebih mendingan ketimbang melawan mulut berbisa laki-laki itu. Ia sudah siap ngacir dari sarang setan seandainya seseorang tidak menyambar kerah belakangnya.
"Kamu tahu perbedaan pergi dan pindah tidak sih?" Alan menegaskan tindakannya. "Memangnya siapa yang mengizinkan kamu beranjak dari ruangan saya?"
Lah, tadi katanya silakan pindah. Mengapa sekarang ganti lagi? Naya meronta. Lehernya serasa tercekik. Ini Alan mau membunuhnya atau bagaimana?
"Kenapa kamu mau pindah?" desak Alan keras kepala. Ia memaksa gadis itu berbalik dan menatapnya. "Seriously, Naya? Setelah semua pengakuan saya, kamu malah ingin mengabaikan semuanya?"
Pengakuan apa? Kebohongan lain yang menyemarakkan rasa benci Naya pada Alan? Tolonglah ya, dia tidak buta. Kalau mau ngibul, pungut otak yang dipotol di angkringan dulu sana.
"Saya memang pengin pergi, Pak." Naya megap-megap. Suer, perlawanannya tidak membuahkan hasil. Yang ada dia nyaris koit gara-gara tarikan kerah blusnya. "Saya enggak mau jadi kutu di hidup Bapak sama Mbak Safira."
Kalimat itu walau dimuntahkan sambil lalu, rasa perihnya menikam sampai ubun-ubun. Sakitnya tak tertahankan. Naya menarik-narik lengan blusnya yang kini dipegangi Alan. Label kutu sudah cukup, tidak perlu ditambah dengan PHO segala.
"Naya..." Alan melampiaskan kebuntuan dengan memijit pangkal hidungnya. "Saya mungkin bukan peramu kata yang baik. Ego saya tinggi sehingga mau tidak mau mulut saya harus mengimbangi. Saya juga terbiasa mengedepankan logika ketimbang perasaan." Ia menarik napas dalam. "Saya tidak tahu harus menjelaskan dari mana tetapi kali ini saya akan mencoba. Kamu tahu misofobia?"
Jiwa ngegas Naya mulai berkobar. "Ya mana saya tahu! Mikir kode-kode Bapak aja udah bikin kepala saya njeblug, mana mau ditambahin istilah-istilah antah berantah!"
Ini orang kapan insaf dari hobi mengepang saraf otak dengan bahasa alien coba? Berbelas kasihan pada nalarnya yang belum di-upgrade sejak pindah ke Jakarta, apa tidak bisa?
Berpikir hendak menyemprot Alan lagi, mata elang laki-laki itu lebih dulu memukul Naya sampai mentalnya nyusruk ke dasar kalbu. Bibirnya terkatup rapat.
"Saya didiagnosis menderita misofobia tiga tahun lalu," jelas Alan lagi. Dialog mengenai kelemahan tidak pernah menjadi topik favorit kaum adam termasuk dirinya. Namun, sekali ini saja kesan tak punya hati terpaksa harus ditukar dengan kerapuhan. "Kamu bisa bayangkan sendiri repotnya hidup dengan fobia kotor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eavesdrop [TAMAT]
RomansaKatanya, dia galak. Katanya, dia suka bantai mahasiswa. Katanya, dia pelit nilai. Katanya lagi, dia gay. Naya pusing mendengar kalimat-kalimat pengantar super buruk itu. Maha-siswa. Seharusnya titel itu terdengar keren untuk diucapkan. Hitung-hitung...