Kapan dosen dan mahasiswa satu pemikiran? Kalau dosen ke kiri, eh si mahasiswa ke kanan. Kalau dosen berniat memberi hadiah, eh si mahasiswa malah mengkeret ketakutan. Positif-negatif yang berlawanan.
--Pejuang kuliah yang galau--
____________________________
Dari mantra Heri Puter sampai mak lampir sukses Naya rapal sejak pagi. Tarik napas lalu disambung kentut sebagai closing juga sudah dilewati. Namun, isi kepalanya belum juga terjampi-jampi. Memori kutu kupretnya masih saja mengulang-ulang adegan lima jam yang lalu.
Ya salam, mumet sendiri jadinya. Mau sampai kapan dirinya tercebur dalam genangan masa lalu?
Berguling sekali, Naya mengubah posisi telentangnya menjadi tengkurap. Kedua tangannya berada di bawah dagu, menyangga kepalanya yang terasa berat bukan main.
"Udahlah, jangan dipikirin lagi, Nay. Belajar aja buat besok."
Naya mengarahkan tatapannya pada Sela. Bagaimana bisa Sela menyuruhnya melupakan semudah itu? Ini masalah harga diri! Jadi perempuan itu seharusnya penuh dengan label mahal. Kalau harga dirinya saja sudah murah, mau dikemanakan mukanya setelah ini?
Erangan depresinya terdengar, "Lo enggak ada di posisi gue sih, Sel! Coba kalau lo yang ditegur begitu. Pasti lo lebih milih migrasi ke kutub utara!"
Pancen pinkeu-pinkeu stroberi kudu diblesekake maring Ciliwung! Enake sesuk uput-uput mabur kang kosan apa, ya?
Sela menurunkan buku bacaannya. Memang sepenting itu sampai harus dipikirkan dengan beragam posisi seperti yang Naya lakukan?
"Ngapain lo ke kutub utara, Nay?" Telentang, tengkurap, kepala di bawah sampai bersandari di tiang ranjang. Ditambah rambut Naya yang menyerupai singa, rasa geli Sela tidak bisa ditahan lagi. "Pak Alan sendiri pangeran asli kutub. Gue saranin sih lo sewa jasa polar bear aja buat libas bapak dekan."
Naya menggeser buku-buku di dekat kakinya dalam satu kibasan.
"Iya juga sih," angguknya.
Galaknya bapak dekan itu tidak ada yang menyamai. Sudah dingin, judes, pelit senyum, tukang sekakmat anak orang pula. Ya Tuhan, jatah seratus menit mata kuliah dasar pemrograman saja berasa seratus abad. Dosa apa dirinya sampai ketiban apes begini?
Menggerutu pelan, Naya mengedarkan pandang ke sepenjuru kamar dan berujung menatap boneka berwarna merah yang berada di dekat bantal guling.
"Angry bird?" Pikirannya tiba-tiba menghalu tentang wajah Alan yang seseram malaikat pencabut nyawa dengan halilintar di atas kepalanya. Bibir Naya berkedut menahan tawa. "Kok timing-nya bisa pas gini, ya?"
Ingat Alan maka ingat juga boneka angry bird. Apa perlu besok-besok Naya menghadiahkan boneka itu sebagai bentuk apresiasi atas tingkah Alan yang kelewat jenius dalam menindas mahasiswa?
"Pak, sebagai syukuran saya diterima di Millenium University, saya punya hadiah buat Bapak."
Harus pakai kata syukuran. Jika terlalu jujur, Naya takut Alan akan mencabut nyawanya detik itu juga.
"Apa?"
"Boneka angry bird, Pak. Daripada saya kasih boneka banana ghost yang mana kadar kemiripannya enam puluh persen sama aura Bapak, saya kasih boneka angry bird aja. Itu cocok buat Pak Alan."
Naya bisa membayangkan senyum memesona bapak dekan yang penuh dengan bencana di baliknya.
"Naya, saya juga sayang kamu. Sebagai dekan teladan, saya juga mau kasih kamu hadiah. Pernah merasakan ditimpuk paper setebal lima ratus halaman tidak? Mau coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eavesdrop [TAMAT]
RomanceKatanya, dia galak. Katanya, dia suka bantai mahasiswa. Katanya, dia pelit nilai. Katanya lagi, dia gay. Naya pusing mendengar kalimat-kalimat pengantar super buruk itu. Maha-siswa. Seharusnya titel itu terdengar keren untuk diucapkan. Hitung-hitung...