Part 32 | Saksi Bisu

114K 12.1K 4.2K
                                    

Tidak ada satu pun manusia yang benar-benar protagonis dalam kehidupan. Kita semua pernah jadi si brengsek dalam hidup orang lain.

--Bukan makhluk sok suci--
______________________________

Menguasai banyak bahasa alien merupakan syarat utama menjadi calon programmer andal. Beda program biasanya beda istilah yang dipakai. Namun, boro-boro menguasai. Baru kenal biner, heksadesimal, dan sederet istilah Python saja lidah Naya sering keseleo saat balik ke kodrat human.

Subjek-predikat-objek di kepalanya auto bubar jalan. Setiap kali ingin bicara, yang keluar dari mulutnya pasti sebutan antah berantah. Istilah gampangnya, gagu bahasa manusia. Itulah sebabnya Naya tidak mau terlalu mendalami coding dan tetek bengeknya. Berpotensi membikin a-a-u-u soalnya.

"Sela..." Enggan berpusing-pusing ria, Naya mengibaskan secarik kertas pemberian Alan di depan wajah sahabatnya. "Lo tahu enggak ini apaan? Gue gagal paham nih."

Basis delapan itu oktal, sedangkan enam belas itu heksadesimal, tetapi American Standard Code for Information Interchange?

"Apaan?" Sela menyabet benda yang diulik Naya sedari awal isoma. Membolak-baliknya, melihat, meraba, menerawang lalu didapatlah satu kesimpulan. "Ini kertas, Nay. Mata lo enggak siwer dini, 'kan?"

Sebanyak bintang di angkasa, seluas awan kinton menadahi kakek kura-kura, keterbelakangan manusia lebih mengesankan lagi. Naya menjejalkan kacang asin pemberian Alan ke mulutnya, mengunyahnya kuat-kuat seakan itu adalah jiwa Sela yang memandangnya tanpa dosa.

"Maksud gue arti tulisannya, Mbakyu." Naya berujar muram. "Gue jadi pengin makan orang deh. Daging lo bikin gue mencret enggak, Sel?"

Sela menatap Naya dan kertas di tangannya secara bergantian lalu mengulas cengiran lebar.

"E-he, sori. Abisnya omongan lo ambigu sih, makanya gue jawab apa adanya."

Jiwa kanibal Naya sudah bangkit dari mati suri. Ini sih dia wajib minggir jika tidak mau kejeblukan emosi. Lebih-lebih dalam keadaan terjebak badai tugas matematika dengan soal wahyaah--maksudnya baru awal lihat berpikir, "wah, gampang ini mah," tetapi begitu mencoba mengerjakan sekonyong-konyong putar balik, "yaah, ini soal setan macem apa?".

Kevin menepi dari acara belajar kelompoknya bersama Monika dan Fabian. Sebelah tangannya memain-mainkan bolpoin saat ia merebut sesuatu yang ditekuni Sela.

"Ada apaan sih? Sibuk sendiri dari tadi." Alisnya mencuram selagi menganalisa. "Weh, Nay, lo dapet kertas ini dari dukun? Ini mantra pengusir jin jahat proyektor yang nempel di badan lo? Njir, angka semua."

Mendengar jin jahat disebut-sebut, Fabian tertarik mengikuti. "Eh, guys, emang di Jakarta ada dukun, ya?" Status gaulnya tersentil berat karena buta perihal ini. Ia meniru aksi Kevin yang mengamati secarik kertas sembari berkata, "Share location dong, Nay. Gue juga pengin ngedukun buat dapet mantra supaya bisa saudaraan sama amuba yang gampang membelah diri. Kan asyik tuh kalau badan gue yang asli masih tidur di kosan, satunya ngerjain tugas matematika, satunya lagi sibuk ngoding, satunya lagi aktif kuliah. Oh, sungguh indahnya hidup sebagai mahasiswa."

Kekehan tertahan datang dari Monika yang sibuk berperang dengan kertas dan tinta. Tidak di kampus, tidak juga di angkringan, kegilaan dua makhluk itu tetap nomor wahid. Naya sampai pasang wajah ingin menerkam begitu.

"Kalian jadi makhluk peka sebentar aja, bisa enggak?" desis Naya.

Kevin dan Fabian kompak menggeleng.

"Susah, Nay. Apanya yang mesti dipekain?" Kevin menggaruk pelipisnya. Peka itu makanan jenis apa? Kenapa hampir semua perempuan mempertanyakan kepekaan laki-laki? Salahnya sebagai pengemban jenis kelamin itu di mana?

Eavesdrop [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang