Compos Mentis

209 14 1
                                    

Com.pos Men.tis/having full control of one's mind; sane./

"Bentar, lo bilang apa tadi?" Kanaya tiba-tiba menahan tangan Daffa, membuat Daffa berbalik dengan ekspresi yang aneh. Tatapannya kosong seperti memikirkan sesuatu dan enggan menatap Kanaya. "Daffa! Jawab gue, jangan kayak gini!"

Sekitar sepuluh menit yang lalu keduanya baru saja keluar dari apartemen Arka, meninggalkan laki-laki itu sendirian—lagi. Sayangnya, bukan dengan kata pamit yang benar, karena Daffa tiba-tiba saja pergi keluar hingga Kanaya harus mengejarnya dan meminta maaf pada Arka.

Daffa sendiri merasakan perasaan yang aneh. Perasaan itu seperti bergejolak di dalam dadanya, lalu berjalan menuju kepalanya, mengaktivasi otak bagian temporal yang menyimpan memori masa lalunya. Tiba-tiba saja semuanya akhirnya membuat rasa takut dari bagian sistem limbiknya muncul.

"Daf? Tell me," Kanaya masih berusaha membuat Daffa sadar karena ia tiba-tiba saja menjadi seperti orang gila beberapa saat lalu.

"Gue—"

"Hm?"

"Kenapa—kenapa gue rasanya pernah melihat kedua kakak Arka?" Daffa tidak bohong. Dan Daffa menjadi gila karena kedua kakak Arka sepertinya tidak ia simpan pada memori baiknya. Daffa tidak pernah mengingat memori apa itu, tapi rasanya, sekali melihatnya sudah cukup membuat ia merasa sedih dan takut di saat yang bersamaan, tanpa tahu penyebabnya. "Dan kenapa ketika gue melihatnya...gue merasakan perasaan aneh?"

Kanaya mengerjap cepat. "Lo tahu keluarganya Arka?"

"Gue gak kenal Arka sebelumnya. Tapi, saat tadi gue melihat foto kakaknya di apartemen Arka, entah kenapa terasa familiar, dan saat menatap keduanya, gue merasa sedih sekaligus takut. Gu—gue takut, tiba-tiba dada gue nyeri banget, sebenarnya apa yang pernah gue alami?" Daffa berjongkok, kemudian mengatur napasnya.

Kanaya tidak bisa tidak mempercayai perkataan Daffa karena cowok itu masih memukul-mukul dadanya, seakan-akan ada beban yang mengganjal di sana. Mukanya memerah dan frustasi. Kalau saja Daffa sedang tidak segila ini, Kanaya akan merasa malu karena Daffa berjongkok di tengah jalan hingga satpam apartemen memandang mereka aneh.

"Daffa, kita pulang, yuk?" Kanaya mengulurkan tangannya.

"Kanaya, tiba-tiba gue takut, tapi gue gak tahu kenapa—"

"Daf, ada gue. Lo akan baik-baik aja, oke?"

"Lo bisa peluk gue kayak lo peluk Arka tadi?" Kini Daffa mendongak. Kanaya bisa melihat air mata yang tertahan karena matanya kini sudah berkaca-kaca. "I think my heart need it."

Tanpa ragu Kanaya melakukannya, merengkuhnya hingga tangannya bisa menyentuh kepala Daffa. Cowok itu menangis, sekeras-kerasnya, sejadi-jadinya, dan masih di tengah jalan. Hati Daffa sakit tanpa Daffa tahu alasannya, dan itu yang membuat ia tiba-tiba menjadi seperti orang gila. Daffa takut perasaan ini akan bertahan sangat lama hingga ia tidak mampu menjalani kehidupannya dengan baik.

"Kanaya, can I ask for a longer hug?"

Kanaya mengangguk, mencoba mengerti apa yang dialami Daffa, namun sayangnya sekeras apa pun ia mencoba, ia tidak tahu. Kanaya belum berteman dengan Daffa selama itu, sehingga ia tidak tahu apa yang Daffa alami dahulu.

Daffa masih menangis dalam rengkuhan Kanaya, dan tanpa mereka sadari, sepasang mata milik seorang perempuan berambut panjang tengah menatap mereka gusar.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang