Invasive

151 12 3
                                    

in.va.sive (a)/tending to spread prolifically/

Suara deru mobil baru saja menjauhi rumah berwarna putih itu saat Alkena bangkit dari tempat duduknya, berjalan berjingkat-jingkat ke arah kamar Alvaro

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara deru mobil baru saja menjauhi rumah berwarna putih itu saat Alkena bangkit dari tempat duduknya, berjalan berjingkat-jingkat ke arah kamar Alvaro. Dia ingin mengetuk pintu yang sudah seperti perbatasan antara surga dan neraka itu—iya, Alkena yang berada di neraka dan Alvaro yang berada di surga—tapi sungkan.

"Varo, Papa udah pergi,"

Tidak ada jawaban.

"Varo....jawab gue. Gue ingin bicara sama lo." Alkena berkata dengan suara yang lirih, dia hampir putus asa dan akhirnya melanjutkan kalimatnya dengan intonasi yang lebih tinggi. "Apa lo akan terus menganggap gue gak ada?"

"..."

"Gue ketemu Arka."

"..."

"Gue ketemu Arka kemarin."

"Perempuan itu udah pergi juga?" Alkena hampir menyerah dan akan kembali ke kamarnya, tapi saat mendengar suara itu sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia menghentikan langkahnya dan kembali berjingkat mendekati pintu kamar Alvaro.

Alkena menghela napas sebelum menjawabnya, "Udah. Dia udah pergi. Dia baru pergi tadi."

"Lo udah bicara sama Arka tentang perempuan itu?" Tanya Alvaro dari dalam kamar. Suaranya agak serak, mungkin dia sedang terkena flu, Alkena tidak tahu. Ia sebenarnya ingin masuk begitu saja, memastikan keadaan kakaknya baik-baik saja. Tapi pintu itu pasti terkunci rapat. "Lo...gak marah sama dia, kan?"

Alkena bergeming beberapa saat. Mengetahui kakaknya mungkin tidak akan keluar kamar untuk menemuinya, ia memutuskan duduk dan bersandar pada pintu kamar Alvaro. "Tadinya gue mau marah. Semua ini terjadi bukannya gara-gara dia?"

"Kena, gue udah bilang sama lo. Gue akan terus mendiamkan lo kalau lo masih menyalahkan Arka soal semua ini. Ini. Bukan. Salah. Arka," ujar Alvaro.

Tekanan pada kalimat terakhir Alvaro membuat Alkena tertawa parau, sejujurnya perasaannya sedang tidak karuan dan dia membutuhkan seseorang. Hanya saja, seseorang yang Alkena butuhkan tidak mungkin muncul. Dia hanya membutuhkan Mama. Cukup. Cukup dengan mamanya datang dan memeluknya. Tapi bukan kah itu mustahil? "Terus gue harus salahin siapa?"

"Alkena—"

"Lo pernah berpikir gitu gak sih, Kak?" Alkena jarang memanggil Alvaro dengan sebutan 'Kak', jika ia melakukannya, artinya ia sedang benar-benar ingin menjadi seorang adik. "Segala sesuatu terjadi karena sebuah sebab. Lo pikir semua ini berawal dari mana? Semua ini berawal dari Arka. Lo setuju kan sama gue?"

"..."

"Gue gak ngerti kenapa lo masih sayang banget sama Arka ketika lo tahu, kalau kita gak punya Arka, semuanya akan baik-baik aja."

"Alkena. Gue gak ngajarin lo buat ngomong kayak gitu," Alvaro tidak pernah mengungkapkan kemarahannya dengan nada tinggi pada perkataan yang dikeluarkannya. Alvaro marah dengan setiap tekanan pada katanya, dan itu terdengar dua kali lipat lebih menyakitkan.

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang