Camouflage

166 13 2
                                    

cam.ou.flage (v)/conceal the existence of something undesireable/


"Mama selalu kepikiran sama lo, Ka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mama selalu kepikiran sama lo, Ka. Semenjak kejadian itu, Mama gak berhenti nangis karena lo seperti mayat hidup."

Arka menghembuskan napasnya panjang. Ia menopang dagunya dengan sebelah tangan, sementara tangan sebelahnya memegang pulpen tanpa tujuan. Pandangannya sesekali melirik pada handphone yang terletak di depan bukunya, berharap ada pesan masuk dari seseorang yang mengatakan kalau dia baik-baik saja.

"....Mama...Mama ingin melakukan segala cara agar lo bisa bicara, Mama pergi ke sana-sini, berharap ada dokter yang bisa bikin lo kembali ke awal. Mama terlihat sangat tertekan. Dan seakan penantiannya berakhir, setahun kemudian, saat segalanya kembali normal, Mama jatuh sakit. Dokter bilang Mama kelelahan, hal itu memicu serangan jantung yang akhirnya menyebabkan Mama meninggal."

Arka kini melempar pulpennya, menimbulkan suara yang cukup kencang. Ia menelungkupkan mukanya di atas lipatan tangan, menyadari kalau dirinya sudah terisak tanpa ada yang bisa menghentikannya. Harinya yang sudah suram kembali bertambah sesak saat Alkena menghampirinya, menceritakan apa yang tidak ingin Arka dengar.

Kalau begitu, kematian Mama juga salah Arka, kan? Arka sayup-sayup mendengar suara itu dari lubuk hatinya, membuatnya meremas kertas yang ada di hadapannya. Namun, saat menyadari kalau itu adalah buku Sobotta yang mahalnya setengah mati, ia langsung merapikan remasan kertas itu lagi lalu menghela napas berat.

"....itu ya, itu yang menyebabkan Kak Varo dan Kak Kena benci gue. Karena...karena kalau gue gak begini, Mama mungkin akan baik-baik aja. Iya, kan?" Arka bertanya pada dirinya sendiri dengan suara yang tertahan. Ia terisak lagi, entah sejak kapan dia menjadi secengeng ini. Tapi, rasa-rasanya, setelah menangis, ada suatu beban yang hilang dan membuat pundaknya terasa lebih ringan.


Jalanan dingin itu, cairan berbau logam, serta pandangannya yang mengabur sekarang terasa sangat jelas untuk Arka. Hari itu gerimis. Aneh, padahal bulan Juni bukan bulan penghujan, tapi alam seakan memperingatkan mereka untuk jangan pergi.

"...nanti gue aja yang ke rumah lo, Ka. Daffa, lo juga langsung ke rumah Arka aja. Gue harus ke halte dulu. Lagian nanti gue kena marah mama kalian berdua karena ajak main sore-sore."

"Ketemu cewek itu lagi?" Daffa menyela penasaran sebelum akhirnya dengan setengah berbisik bertanya, "Emang secantik apa, sih? Aku kan penasaran! Ya kan, Ka? Kamu pengin ikut juga kan?"

Arka mengangguk-angguk, "Aku mau lihat. Lagian masa kamu mau rayain ulang tahun dia dulu baru aku? Pilih kasih," ujar Arka ketus, membuat Gavin terlihat salah tingkah dan akhirnya mengizinkan mereka berdua untuk ikut.

"...oh iya, nanti sore, kita ketemu di halte sebelumnya, ya? Jangan langsung di halte itu, biar kita bisa siap-siap dulu. Nanti dari sana, terserah kalian mau naik apa. Gue kan bawa motor. Pokoknya kita ketemuan dulu di halte sebelumnya," Gavin berpesan sebelum akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang