Visceral Pain

115 14 4
                                    

Vis.ce.ral pa.in (a) /Pain that results from the activation of nociceptors of the thoracic, pelvic, or abdominal viscera (organs)/

Udara dingin masih menusuk ketika mobil Alphard milik keluarga Daffa sudah melaju kencang di jalan tol yang menghubungkan tempat tinggal Daffa dengan tujuan mereka. Masih pagi dan weekend begini sih enaknya main handphone, tarik selimut lagi, dan ketiduran sampai siang nanti—eh bangun-bangun panik gara-gara belum mengerjakan PR lab. Tapi Minggu ini, Arka, Daffa, Alvaro, Alkena, dan Kanaya akan pergi ke sebuah tempat yang penting untuk mereka.

Arka dan Daffa—yang sebenarnya sejak tadi masih diam-diaman dan enggan bersebelahan—kini justru tertidur dengan posisi Daffa yang meringkuk kedinginan ke arah Arka, sementara kepala Arka sendiri beberapa kali terantuk jendela. Alvaro yang menyetir mobil tersebut sering melirik lewat mirror-view dan Kanaya bisa melihat Alvaro berkali-kali menarik ujung bibirnya. Sementara Alkena....

"YANG KUPUNYA HANYALAH HATI YANG SEEETIA, TULUS PADAMUUU..."

"Kak Kena?" Kanaya mendengus kesal, membuat Alkena menoleh dengan tatapan tidak suka.

"Apa?"

"Be-ri-sik tau gak?"

"Dih, suka-suka gue. Emang gak boleh nyanyi?" Alkena menyahut cepat, kemudian dengan setengah memonyongkan bibirnya, ia bersandar ke kursi mobil, memilih untuk diam sebelum Kanaya mengajaknya perang mulut.

"Ya tapi kan adik-adik Kakak lagi tidur!" Jawab Kanaya keras. Padahal teriakan dirinya sendiri pun dapat membangunkan Arka dan Daffa yang sedang tertidur di sebelahnya. "Gue juga suka banget sama lagu itu tapi kalau Kakak nyanyinya teriak-teriak begitu bisa pecah kepala gue!"

"Ya." Alkena mencibir, menyahut singkat.

Kanaya yang duduk tepat di belakangnya jadi ingin menjambak rambut Alkena saking menyebalkannya cowok itu. Tapi sebelum dirinya melakukan hal tersebut, hati baiknya masih menyuruhnya untuk menarik napas dalam dan menenangkan diri.

"Kanaya pucat banget. Sudah makan?" Tanya Alvaro.

"—eh?" Kaget mendengar pertanyaan itu, Kanaya segera menegakkan duduknya. "Udah, Kak."

"Mana mungkin si Maya belum makan. Kemarin malam aja dia yang habisin makanan kita! Ngaku lo. Lo yang ngambil makanan di kulkas si Arka, kan?" Alkena berbalik untuk menatap Kanaya. "—eh tapi seriusan kan lo udah makan? Nanti lo pingsan lagi. Tar gue yang disuruh bawa."

"Makanya badan tuh jangan kayak kingkong!"

"Lo aja yang pendek!"

Alvaro bisa mendengar keduanya masih saling meledek hingga mobil yang dikendarainya belok di sebuah persimpangan. Jalanan besar berganti menjadi jalanan perumahan yang di sisi kanan-kirinya banyak tumbuh ilalang tinggi. Langit sudah mulai terang dan suhu udara sudah mulai naik. Tempat ini tampaknya tidak begitu jauh dari SMP Kanaya dulu, hanya saja persimpangan ini terletak dengan arah yang berbeda dari perumahan tempat tinggal Arka dan Daffa dulu.

Tiba-tiba saja Kanaya menjadi tegang bukan main. Sejak tadi dia memikirkan apa yang harus dia katakan jika saja bertemu Gavin nanti, atau ekspresi apa yang harus dia keluarkan. Dia juga memikirkan kemungkinan terburuk kalau saja Gavin tidak mengenali dia lagi. Yah, sebetulnya Kanaya tidak banyak berharap, sih, tapi memangnya siapa yang tidak ingin menyapa lagi seseorang yang pernah sangat berarti dalam sembilan belas tahun hidupnya?

"Udah sampai, ya?" Arka mengucek matanya, melirik Daffa yang tertidur di bahunya dengan sebal, lalu perlahan menoyor kepalanya. Tapi Daffa belum terbangun juga.

"Sebentar lagi," jawab Alvaro singkat. "Nah itu, kelihatan kan papan besinya?"

Arka tertegun beberapa saat. "Kak Varo, itu...panti asuhan?"

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang