con·junc·tion (n)/ the action or an instance of two or more events or things occurring at the same point in time or space./
"Lo kenal?" Setelah terjadi keheningan yang cukup lama, Arka mulai membuka pembicaraan. Keningnya berkerut hebat, tapi tidak ada satu ide pun yang mampir ke otaknya.
"Gak, lo?"
"Gak juga."
Daffa menghela napas, kemudian menatap Arka sesaat. "Itu mungkin orang yang ada di foto itu, foto yang pernah lo tunjukkin ke gue. Orang yang ada di tengah."
Arka mengangkat alisnya beberapa saat, kemudian mengangguk. "Ah—iya. Mungkin aja." Jawabnya datar. Kemudian keheningan membuat jarum jam yang berdetak terdengar sangat keras. Arka dan Daffa terlihat larut dalam pikirannya masing-masing, ketika kenyataannya, kepala mereka terasa kosong.
"Kenapa....kita gak baca isi suratnya aja, sih?" Tanya Arka, menarik kertas itu cepat, hingga sobekan kertas itu kembali beterbangan dan bentuk surat itu tak terlihat lagi.
Daffa mendelik, "An—jir, itu belum disatuin!"
"Eh iya!" Arka sama-sama berteriak panik, keduanya dengan ribut kembali menyatukan kertas itu. Kini butuh waktu hanya lima menit sampai rangkaian kata dengan tulisan yang jelek itu kembali terlihat. "Gue rasa...isi suratnya pendek, dan menyatukan bagian bawahnya itu gak berguna."
"Ha?" Daffa yang setengah memerhatikan tidak mampu menangkap maksud Arka. "Ada petunjuk di bawahnya, siapa tahu?"
"Ck," Arka berdecak kesal, ia mundur ke belakang, membiarkan Daffa menyelesaikan potongan demi potongan di bagian bawah kertas itu. Arka berani bertaruh, bagian bawah surat itu tidak ada apa-apanya. Jadi, buat apa susah-susah?
Setelah Daffa menyelesaikan seluruh potongan kertas, dia hanya diam berjongkok sambil memandangi tulisan yang ada di atasnya. Arka yang memandanginya hanya bersidekap sambil menyindir kecil, "Ngapain lo? Nahan boker?"
"Diem lo. Gue lagi berusaha baca tulisannya."
"Gue gak tahu kalau lo punya kemampuan membaca tulisan purba. Lo harusnya masuk ilmu sejarah," bukannya diam, Arka malah tertawa kecil dan melanjutkan omongan pedasnya.
"Heh! Tulisan ini tuh kayak tulisan dokter, ya! Harusnya lo juga bisa baca."
"Gue kan calon dokter, bukan apoteker."
"Terserah lah. Pergi lo!" Daffa membalas frustasi tanpa menatap wajah Arka. Pandangannya benar-benar fokus pada tulisan itu. Hingga ketika Arka benar-benar berniat pulang, Daffa berkata pelan. "Eh—Ka, jangan pergi."
"Tadi lo nyuruh gue pergi!"
Daffa kini berbalik menatap muka Arka. Raut wajahnya terlihat serius hingga Arka malah merasa ngeri sendiri. Daffa berdiri, menatap Arka tajam dan berjalan mendekati Arka yang sudah berdiri di ambang pintu, "Gue sudah menemukan tempat yang cocok."
"Hah? Tempat apa?"
"Besok lusa saat langit sudah berwarna oranye, keluar dari rumah, pergi ke arah jam sebelas."
"Lo—lo ngomong apa sih?" Bersamaan dengan Daffa yang semakin maju, Arka memundurkan badannya. Sejujurnya ia takut, karena Daffa terlihat seperti orang yang kesurupan sekarang. Apa dia memang sering begini, ya?
"Semak yang biasanya tumbuh hijau malah berwarna merah muda. Itu tanda."
Arka memejamkan matanya, kemudian berkomat-kamit, "Astagfirullahal'adzim, laa haula wa laa quwwata illa billah—"
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUR FUTURE DOCTOR
Teen Fiction(n):/seseorang yang memiliki hati, cinta, dan kepedulian yang lebih luas dari dunia, terutama untukmu./ Tentang belajar, gagal, dan bangkit kembali; Tentang jatuh dan harus bangun di saat yang bersamaan; Tentang menguatkan dan merelakan; Dan tentang...