Recognition

171 14 8
                                    

rec·og·ni·tion (n):/identification of someone or something or person from previous encounters or knowledge./

Seperti senja yang hanya mampir di penghujung hari, Gavin Sakha Erlangga juga hanya sebuah distraksi kecil pada kehidupan Kanaya. Hanya tiga belas hari dari sembilan belas tahun hidupnya dia datang, selebihnya dia menghilang.

Layaknya senja, sekali pun datang hanya sekejap, ia tidak mudah terlupakan.

Senja adalah Gavin dan Gavin adalah senja. Kalau saja Gavin mudah dilupakan, Kanaya tidak akan ingat tiga belas hari yang ia lalui itu. Walaupun Kanaya sendiri tahu, tiga belas hari yang berharga itu tidak akan pernah Gavin sadari. Mungkin sampai saat ini.

"Naya? Lo kenal dia?"

Kanaya mendongakkan kepalanya terburu-buru, pipinya tiba-tiba saja bersemu merah. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kenal? Tidak, Kanaya hanya tahu. Kata kenal seharusnya disematkan pada seseorang yang sudah mengetahui banyak sisi dari orang lain, tapi Kanaya tidak. Dia hanya tahu Gavin dari satu sisi yang biasa ia lihat.

Hanya dalam tiga belas hari.

"—enggak, Daf. Gue cuma beberapa kali ketemu dia," jawab Kanaya ketika Daffa sudah cukup mendesaknya dengan pertanyaan yang sama, seakan eksistensi Gavin adalah hal yang sangat penting untuk hidup Daffa. Tapi kepala Kanaya masih pusing, ia baru saja bangun tidur dan meregangkan tubuhnya ketika tiba-tiba menemukan foto itu di dekat kaki tempat tidur milik Daffa.

"Kapan? Di mana?"

Kanaya memandang Daffa, lalu menjawab, "Dulu. Udah lama. Di dekat sekolah gue."

"Di dekat SMA kita?"

Kanaya menggeleng, "Di dekat SMP gue. Tapi...gue gak tahu sih, Daf. Mungkin salah orang juga. Gak mungkin kan gue masih ingat orang yang hanya gue temui beberapa kali setelah bertahun-tahun lamanya?"

Tapi nyatanya, gue ingat, Kanaya membatin sembari menghela napas. Ia kemudian menegakkan duduknya. "Baru pulang ya, Daf? Atau...gue tidur kelamaan sampai-sampai lo gak bisa tidur dari tadi?"

"Iya, dasar kebo," Daffa terkekeh kecil lalu menyentil kening Kanaya, membuat perempuan itu meringis kecil dan membalasnya dengan tabokan keras di punggung Daffa. "—eh, sakit! Udah tahu gue capek, malah lo pukul-pukul gini."

"Ya habisnya lo nyebelin,"

"Makanya, harusnya disayang-sayang, Nay—"

"Ewh," Kanaya mencibir, bangkit dari tepi tempat tidur Daffa lalu memandang jam dinding. Sudah pukul sebelas malam, orang tuanya pasti sudah pulang sejak tadi. Tapi mungkin mama Daffa sudah mengabari mereka. "Arka kemarin ke sini ya?"

"Iya, kenapa? Seneng?"

"Ya ampun, jawabnya ngegas amat. Gue kan cuma nanya, soalnya kata kakaknya dia gak pulang semalaman," jawab Kanaya, ia duduk di kursi belajar Daffa dengan arah terbalik, sehingga dagunya tertopang oleh sandaran kursi. "Kalian berdua main rahasia-rahasiaan ya sama gue? Kalian habis ngapain sampai nginep-nginepan segala?"

"Urusan cowok."

"Masa?" Kanaya memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memajukan kursi belajar Daffa yang beroda hingga sampai tepat di hadapan Daffa. "Kalian berdua punya urusan apa emang? Apa jangan-jangan kalian mengkhianati gue dan udah belajar bareng? Iya, kan?"

Daffa berdecak, "Naya, lo udah hidup hampir lima tahun sama gue. Sejak kapan gue punya inisiatif untuk belajar materi yang akan datang? Gue belajar materi yang udah lalu aja masih kelabakan, gimana mau sempet belajar yang lain-lain?"

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang