Oxytocin

124 11 6
                                    

ox.y.to.cin (n):/ "cuddle hormone" or "love hormone"


"Kak, sebentar ya. Arka mau ketemu Kanaya dulu," ujar Arka. Agak tidak enak karena dia lebih memilih mencari Kanaya dulu dibandingkan bicara dengan kedua kakaknya. Tapi, kalau dia tetap tinggal di sini, mungkin Kanaya sudah hilang entah ke mana. "Sebentar kok, Kak. Kakak jangan dulu pulang, ya? Atau....hng..."

Arka jadi bingung sendiri. Ia takut juga kedua kakaknya akan pulang begitu saja. Terlebih sekarang cuaca sangat mendung.

"Gak apa-apa kok, Ka," jawab Alkena. "Kejar aja tuh cewek lo. Perempuan mah susah."

"Eh, bukan cewek gue!"

"Soon to be lah, ya," Alkena mencibir. Ia kemudian menyodorkan telapak tangannya ke arah Arka. "Gue minta kartu apartemen lo. Gue sama Alvaro tunggu di sana aja. Berdiri di sini lama-lama kayaknya bikin si Varo pusing. Banyak yang lihatin lagi."

Arka melirik Alvaro yang sedang duduk bersandar di bawah pohon, sesekali Alvaro mencoba tersenyum pada orang-orang yang menyapanya. Ada beberapa orang yang juga meminta foto. Sebenarnya Arka tidak tahu kalau kakaknya seterkenal itu di antara teman-temannya, dan tampaknya teman-teman Arka juga sama kagetnya mengetahui Alvaro adalah kakak Arka.

"Ah—iya, kenapa gak kepikiran, sih," Arka merogoh saku celananya, mencari-cari kartu berukuran lima kali sembilan sentimeter yang selalu ia letakkan di sana. Setelah menemukannya, ia memberikannya kepada Alkena yang kemudian melenggang pergi begitu saja.

Arka menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatannya sebelum berjalan ke arah yang tadi dituju Kanaya. Yang bisa ia harapkan hanya; Kanaya belum pulang. Kalau pun bertemu, Arka juga tidak ingin melakukan apa-apa, ia hanya ingin berbincang dan memastikan cewek itu sudah baik-baik saja.

"He? Ngapain lo di sini?" Arka mengangkat alisnya, melihat Daffa tengah memainkan ID-card panitia yang dipakainya sambil melempar-lempar kerikil ke arah kolam ikan. "Nanti ikannya mati..."

"Mana ada."

Arka memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Daffa, "Lo kenapa? Lo habis—"

"Buruan sana, keburu Kanaya pergi," tanpa diduga, Daffa malah mendorong tubuh Arka sampai Arka hampir jatuh tersungkur. "Ada di dekat ruang UKM." Kemudian gesturnya menyuruh Arka untuk segera pergi.

Arka mengernyit, membuat kerutan yang tampak di dahinya. Tapi kemudian ia berjalan—setengah berlari—ke arah ruang UKM. Arka agak bingung karena ia benar-benar tidak pernah menapaki bangunan ini, tapi akhirnya ia melihat seorang perempuan tengah memainkan ponselnya sambil sekali-kali mengangkatnya tinggi-tinggi.

"....mau pulang?"

Kanaya menoleh, terlihat kaget. "Iya," jawabnya singkat. "Good job, Arka," ia kemudian tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Arka.

Sementara itu, bukannya menyambut uluran tangan Kanaya, Arka justru menarik tangan itu dan menjatuhkan tubuh Kanaya ke dalam rengkuhannya. "Makasih lo udah memenuhi janji lo untuk menonton gue."

Kanaya terkaget, tapi tubuhnya tiba-tiba terbiasa dengan rasa hangat yang diberikan oleh Arka. Sehingga Kanaya tetap bergeming, membiarkan Arka mengusap puncak kepalanya pelan. Pipinya bersemu merah dan hanya Kanaya yang dapat merasakannya. "Anytime, Arka."

"...hng...gimana rasanya?" Tanya Arka, ia melepas pelukannya kemudian menatap Kanaya.

Kanaya mengerjap, "Hah? Rasa apa?"

"Gak ketemu gue dan Daffa selama hampir dua bulan. Benar kan, dua bulan? Rangkaian acara olymphiart hampir selesai, itu artinya sudah hampir dua bulan kita gak saling bicara," tanya Arka. "Rasanya gimana? Karena buat gue....it feels like two years."

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang