Amygdala

191 14 0
                                    

a.myg.da.la /a roughly almond-shaped mass of gray matter inside each cerebral hemisphere, involved with the experiencing of emotions./

"Naya, hari itu gue lagi banyak pikiran, jadi maaf kalau gue tiba-tiba marah ke lo," Daffa menjelaskan sembari melepaskan pelukan hangatnya. "Makasih juga lo udah tolongin gue di mall."

Kanaya mengangguk-angguk tapi masih dengan rasa sebal, dia juga merutuki dirinya sendiri yang tadi menangis. Cengeng banget, kan kelihatannya gue butuh Daffa banget gitu, kan? Batin Kanaya. Ia kemudian berdecak sebal, "Kalau memang gue membuat masalah di hubungan lo dan Nadia, ya udah lo gak perlu bareng-bareng gue terus. Gue juga gak berniat jadi penghancur hubungan atau apa lah itu."

"Naya, kok lo ngomong gitu, sih?!"

"Ya habisnya gue sebel banget dituduh yang enggak-enggak? Sejak kapan gue minta Nadia buat ngurus lo? Emang lo bayi?"

"Ya maaf itu kan gue udah salah paham!"

"Gak! Kok lo ngegas?"

Daffa mengerlingkan matanya, "Chatime?"

Kanaya menyipitkan matanya, tidak mungkin harga dirinya hanya seharga chatime itu, kan? Tapi, yeorobun, Kanaya memang sangat lemah dengan kata traktir, jadi diam-diam kedua ujung bibirnya terangkat. "Lo traktir?"

"Iya," jawab Daffa sambil tersenyum. Kanaya terpana sendiri, sejak kapan senyum Daffa jadi tambah.....

Dih, gak sudi gue bilangnya.

Tapi melihat raut muka Daffa yang terlihat lelah membuat Kanaya urung untuk mengajaknya jalan-jalan lagi, apalagi kalau dia sampai harus menraktir Kanaya. "Daf, ke rumah aja ya?"

"Lho, kok?"

"Lo kelihatannya capek banget,"

"Tapi—"

"Chatime-nya bisa nanti aja."

"Tapi lo maafin gue, kan?" Tanyanya dengan muka memelas. Ia merapikan poninya yang sedikit jatuh, kemudian menatap muka Kanaya sungguh-sungguh.

Kanaya ingin bilang kalau dia masih sebal karena bocah di depannya ini sempat tidak mempercayainya akibat bucin pada Nadia. Tapi, itu akan membuat perdebatan mereka semakin panjang dan Kanaya tidak tega melihat muka Daffa—yang sepertinya habis rapat seharian—sangat kelelahan.

"Ya, mungkin."

"Dih?" Daffa menghembuskan napasnya. "Ya udah kita tetep jalan-jalan!"

"Daf ini udah malem."

"Gak apa-apa, nanti gue yang telepon Mama lo,"

"Terus lo bilangnya apa?"

"Gue culik anaknya," jawab Daffa. "Terus gue minta tebusan."

Kanaya menjitak kepala Daffa, "Heh! Gak, pokoknya sekarang lo istirahat aja, lo kelihatan capek banget." Jawab Kanaya prihatin. Ia tidak melebih-lebihkan, Daffa memang terlihat seperti boneka berkulit pucat sekarang.

Daffa terdiam, ia kemudian mengangguk setuju dan meraih tangan Kanaya untuk mengajak ke rumahnya. Rumahnya seperti biasa, selalu hangat, bahkan jika dibandingkan dengan rumah Kanaya yang ukurannya hanya setengah kali ukuran rumah Daffa. Kanaya jarang sekali berada di rumah dengan mama dan papanya sebelum jam sembilan malam. Kadang, di hari libur pun, mama Kanaya ada giliran untuk jaga di rumah sakit.

Ya, walaupun begitu, Kanaya bersyukur karena keluarganya baik-baik saja.

Dan ia tidak merasa kesepian.

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang