Expression

124 12 0
                                    

ex.pres.sion (n):/the process of making known one's thoughts or feelings/

Arka merasa dunia di sekelilingnya berputar-putar hingga membuat kaki dan tangannya begitu lemas. Alvaro yang berada di hadapannya segera menahan bahu Arka, maju beberapa langkah untuk menangkap adik kecilnya dalam pelukan hangatnya. Alvaro kira Arka akan menangis, tapi ternyata tidak. Cowok itu justru hanya mengepalkan tangannya erat-erat, lalu berkata lirih.

"...so, tell me. Was that my fault?"

Alvaro menggeleng, "No, Arka. That's not yours."

"Kalau gitu...kenapa Arka masih di sini tapi dia enggak?" Tanyanya dengan suara yang mulai bergetar. Alkena yang masih duduk langsung bangkit. Ia tidak tahu mau melakukan apa, yang jelas ia hanya mengusap-usap kepala Arka pelan.

Alvaro menghela napas, "Arka—"

"Kak Varo, kenapa Arka masih di sini tapi dia enggak? Apa yang udah Arka lakukan ke dia?" Tanya Arka, dengan intonasi suara yang lebih tinggi. Perasaan sakit itu lebih dari membuncah di dadanya, seakan-akan perasaan-perasaan itu berlomba untuk keluar di satu titik dan bisa pecah jika saja dinding dadanya tidak sekuat itu.

"...kamu gak ngelakuin apa-apa, Arka," Alkena akhirnya berbicara saat melihat Alvaro sudah kehabisan kata-kata. Alvaro melepaskan pelukannya, membiarkan mata Arka terpaut pada iris mata Alkena yang penuh kesedihan. "Apa yang terjadi hari itu, bukan salah Arka."

Arka menggeleng-gelengkan kepalanya, "...so, has he sacrificed something for me?"

"Arka—"

"Apa dia kehilangan sesuatu karena Arka?"

Alvaro melirik Alkena beberapa saat, tapi cowok itu hanya menggeleng, membuat Alvaro kembali menatap Arka, "Arka, lihat Kak Varo sekarang," perintah Alvaro. Alvaro mencoba tersenyum saat mata Arka sudah menatap matanya. "Gavin gak pernah kehilangan apa-apa. Kamu dan Daffa hidup adalah sesuatu yang berharga buat dia. Dia selalu bilang kalau...cinta adalah pengorbanan. Love is a sacrifice, Arka. Dia mungkin harus pergi dari sini, tapi dia gak akan menyesal."

"..."

"Because he loves you," Alvaro melanjutkan. "Kamu dan Daffa adalah teman Gavin yang berharga."

"Dan kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu menyalahkan diri kamu sendiri?" Tanya Alkena. "Dia justru akan sedih. Jadi Arka...jangan pernah salahin diri kamu sendiri, ya?"

Arka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air matanya pun tidak keluar sama sekali. Mereka bilang, kalau rasa sakit tidak bisa membuat kita mengeluarkan air mata, artinya rasa itu terlalu sakit, sulit diekspresikan, apalagi didefinisikan dengan kata-kata. Entah kenapa, secepat harapan ditempatkan, secepat itu pula harapan direnggut dari dirinya.

Padahal baru beberapa saat lalu...baru beberapa saat lalu Arka seakan punya keberanian dan harapan untuk menjadi bahagia. Saat ini, Arka hanya berharap ada sesuatu kekuatan yang membuatnya mengingat segala hal tentang hari itu. Tapi semakin Arka mencoba mengingat, semakin sulit pula ingatan itu kembali.

Di tengah-tengah keheningan yang berlalu cukup panjang, Arka malah mengingat sesuatu. Ia berbalik ke belakang, mendapati Daffa dan Kanaya tengah memandang Arka, Alkena, dan Alvaro dengan tatapan tidak percaya. Arka yakin pasti mereka berdua sudah mendengar semuanya. Hingga akhirnya Arka menghampiri Kanaya, membiarkan cewek itu jatuh ke pelukannya.

"...Kanaya..."

Seperti yang Arka duga, tangis Kanaya langsung pecah sesaat setelah kepalanya menyentuh dada Arka. Bahunya naik turun. Arka sudah menduga kalau perasaan Kanaya pasti tidak kalah hancur darinya.

YOUR FUTURE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang