Rhea 22

78 6 2
                                        

Saat dirinya sudah siap jiwa dan raga untuk dimarahi, bukannya semakin menundukkan kepala mendengar omelan Om Drian, Rhea malah menengadah dan melongo.

"Kenapa ga bangunin aku, Rhe?" tanya Drian.

"Lain kali bangunin. Aku pasti anterin kamu ke Bapak." Ini lah kalimat yang membuat Rhea melongo. Apa di masa depan semua orang kalo pengen kabur itu ngasih tau orang rumah ya? Biar praktis gitu kali ya? ucap Rhea membatin.

Tidak hanya itu Om Drian yang memang sudah berada di depannya maju selangkah agar mereka semakin dekat kemudian seolah Rhea ini adalah anak kucing, beliau mengelus kepala Rhea dari puncak kepala terus turun ke bawah. Ini sama sekali bukan reaksi yang Rhea harapkan kalau memang dirinya adalah istri Om Drian. Ini istri Om Drian kabur loh. Apa kaburnya kurang jauh kali ya.

"Dokter bilang apa?"

"Dokter mana?" Matanya membelalak, "Jangan bilang Om percaya aku hamil! Bapak nih dari tadi nyinyir banget pengen anter ke dokter. Aku ga hamil, enak aja."

"Siapa bilang kamu hamil?" Om Drian yang sedang berada dalam posisi mengelus-elus kepala sebutlah anak kucing, mengambil tangannya dan membawanya menjauh. Pria itu kemudian menggantung tangannya di udara sejajar dengan kepala, sambil mengatakan empat kata tersebut. Air mukanya seperti mengetahui bahwa kucing yang barusan ia elus dengan sayang ada taiinya. Rhea bersumpah sepanjang ia mengenal Om Drian, ini adalah ekspresi Papanya Ale yang melihatnya saja membuat Rhea ingin menendangnya. Seolah dia juga ga sudi gitu menghamili Rhea. Sama lah, ucap Rhea membatin.

Karena enggan melihat bibir Om Drian yang dinaikkan sebelah itu, Rhea memutar matanya bosan dan tanpa sengaja mendapatkan Ale yang menatapnya antusias. Mungkin karena tidak bertemu dari pagi. Rhea mengambil ambil Ale yang sudah mengulurkan kedua tangan padanya.

"Bapak sakit apa?" tanya Drian yang ikutan duduk di pinggir ranjang, memperhatikan bagaimana Ale yang tidak sekalipun pernah merasa bahwa Mamanya berubah.

"Bapak sakit apa?" ulang Rhea. Ada kepanikan dalam kalimat tanya nya barusan.

"Loh, bukannya kamu datang pagi-pagi kesini karna ditelponin Bapak yang lagi sakit?"

"Aku-"

"-Iya," jawab Bapak yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu setelah terlebih dahulu membuka pintu kamar tersebut. Beliau berkata pada Om Drian bahwa asam uratnya naik sambil mengedipkan matanya pada Rhea. Persis bagaimana biasanya Bapak memberikan kode agar Rhea ikutan memuji masakan Ibuk yang jujurly kalah jauh sama masakan rumah makan Padang.

"Bapak pengen kita nginap di sini beberapa hari ke depan, ga?" tanya Drian yang berhasil dibohongi oleh Ayah mertuanya. Drian jelas khawatir pada Bapak. Rumah Bapak terlalu jauh letaknya untuk pulang pergi ke kantor sehingga Drian memutuskan untuk memiliki apartemen yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja. Tapi setelah Ibuk dan Tante meninggal dan Bapak tinggal sendiri, Drian dan Rhea pernah mengajak beliau untuk tinggal bersama di apartemen. Agar Bapak tidak kesepian. Rhea dan Drian memang berencana untuk pindah ke apartemen yang lebih besar cepat atau lambat karena nanti Ale membutuhkan kamarnya sendiri. Tapi Bapak menolak. Bapak tidak ingin meninggalkan rumah yang di dalamnya beliau pernah hidup bersama almarhumah istri. Dan saat Rhea dan Drian setuju untuk pindah ke rumah Bapak, beliau menentang karena tau bagaimana menantunya akan kecapean dengan jarak yang harus ditempuhnya untuk pulang dan pergi bekerja.

"Ngga. Bapak baik-baik aja. Dan akan semakin baik kalau kalian disini sampai makan malam," Dito mengambil Ale dari gendongan putrinya kemudian membawa sang cucu keluar dari kamar. Meninggalkan Rhea dan Drian agar keduanya bisa bicara.

Sayang sekali bukan bicara seperti yang Bapak inginkan, begitu pintu kamar terkunci, Rhea yang tau bahwa dirinya tidak jadi dimarahi seperti yang beberapa menit lalu ia pikirkan langsung berbaring di atas ranjang. Tiduran telungkup, Rhea kembali menonton Suga BTS di V LIVE.

Rhea Davina RusselTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang