Chapter 22

547 93 2
                                    

Kini para dokter tengah sibuk menangani Seokjin yang sudah berada di dalam ruangan. Berbagai alat pun telah terpasang di tubuhnya. Pria itu tiba-tiba saja kehilangan kesadaran, membuat Namgil dan Namjoon hampir terkena serangan jantung mendadak. Tapi, beruntung dokter mengatakan jika Seokjin masih bernapas dan bisa diselamatkan.

Namjoon terus saja mondar-mandir dengan gelisah. Ia benar-benar takut jika harus kehilangan sahabatnya. Sedangkan Namgil duduk dengan tengang dan tak berhenti memanjatkan doa, agar putra sulung Younghwan baik-baik saja.

"Joon, duduklah. Jangan membuatku semakin pusing melihatmu mondar-mandir begitu," tutur sang ayah.

Namjoon menghela napas berat. "Aku sangat khawatir, Ayah. Dia pasti baik-baik saja, kan?" tanya Namjoon yang kini sudah mendudukkan bokongnya di samping Namgil.

"Tentu saja, dia pria yang kuat," jawabnya mantap. Padahal ia sendiri juga ketakutan jika harus kehilangan Seokjin.

Semenjak kepergian Younghwan, Namgil yang bertanggung jawab untuk mengasuh ketiga putra dan putri sahabatnya itu. Tak ayal jika rasa sayangnya pada Seokjin, Taehyung dan Jaera sama besarnya.

Ting!

Tepat ketika Namgil hanyut dalam lamunan, pintu ruangan Seokjin terbuka. Dokter pun berjalan menghampiri mereka berdua.

"Wali Yoon Seokjin?"

Namgil dengan cekatan mendekat pada sang dokter. "Iya, saya pamannya. Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Namgil khawatir.

"Kami sedikit menyesal dengan kondisi pasien. Kerusakan hatinya sudah semakin parah. Untuk saat ini keadaannya sedikit membaik. Tapi, kami tidak bisa menjamin sampai kapan pasien bisa bertahan."

Namjoon dan Namgil terbelalak seketika. Bahu mereka terkulai lemas mendengar berita yang baru saja dokter katakan. Bahkan Namgil sudah kehilangan kata-kata, telinganya belum siap dengan berita buruk seperti ini.

Sedangkan Namjoon kini telah memasuki ruangan Seokjin tanpa meminta persetujuan sang dokter, menghampiri sahabatnya yang terbaring lemah di atas brankar dengan berbagai alat yang terpasang di tubuhnya.

"Ya! Yoon Seokjin, bangunlah. Kau ingin minum, kan? Aku akan menemanimu, tapi kau harus bangun, Jin-ah. Aku benar-benar akan membencimu jika kau tidak membuka mata!" ucap Namjoon diiringi derai air mata, walaupun ia tahu Seokjin tidak akan mendengarnya. Pria itu sudah tidak bisa lagi menahan kesedihan yang dirasakannya saat ini.

Namgil yang melihat turut merasakan kesedihan putranya. Tangannya terulur memegang pundak Namjoon, mengusapnya pelan untuk menenangkan putranya.

"IBU!"

Kedua manusia itu sontak menoleh saat mendengar Seokjin memekik. Terlihat pria itu kini sudah membuka mata dengan napas yang sedikit terengah-engah.

"Jinnie-ya, gwaenchana?" tanya Namgil pada Seokjin.

Sedangkan Namjoon sudah berlalu memanggil dokter untuk memeriksa keadaan sahabatnya. Jauh dalam lubuk hatinya ia merasa bahagia karena akhirnya Seokjin membuka mata seperti yang ia harapkan.

"Aku dimana, Paman?" tanyanya lemah.

"Kau di rumah sakit, tadi tiba-tiba saja kau kesakitan dan pingsan, dan berhasil membuat kami kalang kabut. Lihatlah, Namjoon saja sampai menangis melihatmu terbaring lemah seperti ini."

Detik berikutnya yang dibicarakan pun datang dengan dokter di sampingnya. Jelas sekali wajahnya nampak kacau, dan terlihat bekas air mata di pipinya. Membuat Seokjin yang melihatnya tersenyum tipis.

"Namjoon-ah, kenapa menangis? Lihatlah, kau jelek sekali," ledeknya.

"Diamlah! Aku tadi berencana menamparmu jika kau tidak bangun."

Regret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang