[19] DITOLAK TANPA PERNAH MEMULAI

1.5K 95 77
                                    

Apa yang kita sudahi?

Apa yang kita akhiri?

Bukankah kita tak pernah mengawali?

Shanum Nafizza Grizella

****

"SABINTANG ALASKA!"

Salah satu guru yang beberapa hari kebelakang ini sangat gencar memarahi Bintang setiap kali mereka bertemu, tengah mendapati Bintang yang sedang berjalan dengan santainya melewati setiap koridor. Pak Marcello, yang biasa di panggil Pak Beo oleh bintang dan kawan-kawannya untuk dijadikan lelucon harian setiap kali guru itu masuk ke kelas mereka.

Dari nama guru itu memang bisa di anggap keren untuk orang lokal yang memiliki nama minimalis. Namun siapa sangka jika Pak beo— Marcello, mempunyai rambut keriting dan gondrong dengan warna hitam legam yang melekat pada rambut guru tersebut. Kalo kata Bintang sih, beo keriput blasteran domba jawa udah keriting suara bak toa.

"Bintang!" suara menggelegar itu kembali memasuki indra telinga Bintang.

"Apaan, Pak?" tanya Bintang, sedikit bingung.

"Enak aja kamu Bapak panggil di jawabnya malah apaan! Sekarang jam berapa memangnya, Bintang?!" sentak Pak Marcello.

Bintang melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Jam 10:42 pagi, Pak, eh, siang, Pak, eh, gatau ah, Pak!"

"Malah ngejawab lagi kamu! Gak nyadar kalo kamu telat?! Kamu baru datang loh Bintang!"

"Lah, saya bukannya telat Pak. Tas saya tadi ketinggalan di motor yaudah saya ambil, itung-itung ngeskip pelajaran pak,"

"Banyak alasan ya kamu ini, telat ya telat aja gak usah banyak alasan!"

"Dih, saya kan cuma ngomong doang, Pak, bukan alesan. Gimana sih Bapak ini, terus Bapak mau ngapain nyamperin saya?"

Mata Pak Marcello sukses membulat saat mendengar pertanyaan Bintang. Bisa-bisanya Bintang tetap terlihat santai saat berhadapan dengan guru itu. "MAU NGAPAIN LAGI KATA KAMU?! Ya ampun, Bintang, kenapa kamu dateng ke sekolah seenak jidat?!"

"Pak be— Marcel, ngapain si nanya-nanya saya mulu? Kepo amat dah Pak. Apa jangan-jangan Bapak termasuk fans saya juga ya?"

"Fans-fans mata mu kelelep. Sana masuk kelas jangan keluyuran mulu! Atau kamu Bapak pulangkan?!" mata Pak Marcello mulai melotot.

"Dih, Pak. Orang-orang aja lagi pada istirahat masa saya disuruh ke kelas? Gak adil ah, Pak! Mending saya gak sekolah kalo gitu."

"Kamu datang jam segini masih minta istirahat! Memangnya belum cukup waktu tidur mu di rumah tadi?!"

"Belom, lah, Pak. Orang saya tadi main game bukan tidur." Bintang menepuk keningnya.

"Pergi ke lapangan kamu sekarang! Hormat menghadap ke tiang! Jangan kabur kemana-mana atau hukuman mu Bapak tambah?!" titah Pak Marcello.

"Oke."

Bintang meninggalkan Pak Marcello, ia membalikkan badannya dan berjalan menuju lorong yang menghubungkan koridor kelasnya. Sesekali ia memeriksa ponselnya yang sejak tadi bergetar menandakan ada notifikasi masuk.

"BINTANG!"

"Assalamualaikum, eh, astaghfirullah! Ada apaan lagi, si, Pak?"

"Kok apalagi?! Ke lapangan sekarang! Jalani hukuman yang tadi Bapak suruh!"

"BAPAK AJA SANA SENDIRI YANG HORMAT BENDERA! RASAIN GIMANA PANASNYA BERDIRI DI SANA JAM 10 PAGI APALAGI INI UDAH MAU JOHOR!"

"Kok malah kamu yang ngatur saya? Ngapain juga kamu ngebentak-bentak saya?!"

Sabintang AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang