[7] MEMORI LABIRIN

2.3K 183 106
                                    

Rindu ini menggema sampai di ujung luka, kau yang bertabur sinar hanya membekas dalam memori.

-Shanum Nafizza Grizella

****

Sudah sekitar 2 jam Fizza menunggu kekasihnya datang tepat di sebuah restoran ternama di Jakarta. Ia memang takut jika kekasihnya itu tidak datang, karena hari ini merupakan anniversary hubungannya dengan kekasihnya tersebut.

Fizza terus saja menatap layar ponsel miliknya yang sedari tadi ia genggam. Manik matanya tidak luput dari room chat Gian, kekasihnya.

Kini Fizza mulai gelisah. Perasaannya mulai tidak enak. Air mata mengalir begitu saja melinangi pipi Fizza yang tertutup oleh make up tipis yang ia buat.

Fizza kembali mencari nama seseorang dan mulai menghubungi lelaki itu berulang kali. Walaupun ia sudah tahu kalimat apa yang akan terlontarkan melalui ponselnya.

"The number dialed you is busy."

"Shit!" Fizza mulai merutuki dirinya sendiri. Ia beranjak dari bangku yang sedari tadi ia duduki.

Langkah kakinya membawa Fizza keluar dari restoran tersebut. Namun saat Fizza ingin membuka kenop pintu, Fizza mengedarkan pandangannya terlebih dahulu. Ia takut jika dirinya pergi, Gian malah berbanding terbalik dengan dirinya.

Merasa apa yang Fizza lakukan hanya buang-buang waktu, Fizza melanjutkan langkahnya kembali sebelum dirinya tertabrak oleh lelaki yang baru saja membuka kenop pintu.

"Aw!" ringis Fizza sambil mengelus-elus dahi. Kemudian lelaki itu menatap Fizza sambil menggaruk tengkuknya. "Sorry." ucap lelaki itu sebelum Fizza pergi meninggalkan lelaki tersebut.

Keluar dari restoran, Fizza segera menaiki taksi yang kebetulan lewat di hadapannya. Fizza mengedarkan pandangannya pada jendela yang kini tengah menjadi sandarannya.

Pikirannya kacau. Di anniversary pertamanya tahun ini, justru membuatnya kehilangan harapan untuk tetap bersama dengan kekasihnya. Lelaki yang meminta Fizza untuk bertemu di restoran tersebut malah mengingkari perkataannya sendiri.

"Non, sudah sampai." ucap supir taksi di hadapan Fizza. Lalu Fizza mengeluarkan uang lembaran berwarna biru dan segera turun dari taksi tersebut.

Fizza termenung. Ia diam memperhatikan rumah di hadapannya. Lalu tatapannya terarah kepada langit yang mulai mengeluarkan suara gemuruh.

Fizza lari. Ia memperhatikan setiap rumah yang berada di komplek tersebut. Saat melihat rumah yang ia cari ternyata tidak seperti apa yang ada dalam dugaannya. Fizza mulai berjalan biasa, tidak berlarian seperti tadi.

Ia mulai melangkahkan kakinya menaiki tangga yang akan menghubungkannya dengan pintu utama. Fizza tersenyum simpul. Di ketuknya pintu itu beberapa kali.

"GIAAN! BUKAA! INI AKU FIZZA!" teriak Fizza setelah mengetahui bahwa pintu yang sejak tadi ia ketuk tidak terbuka sama sekali.

Senyum di wajah Fizza mulai memudar, tergantikan dengan senyum tipis di wajahnya. "Kamu lupa kalau sekarang kita anniv ya? Padahal kamu yang ngajakin sendiri buat ngerayainnya di restoran Papa kamu."

Fizza menatap langit yang mulai menurunkan butiran air hujan secara perlahan, kemudian di tatap kembali pintu rumah yang sejak tadi tidak terbuka.

"SAAYAANG! KAMU MAU NGERJAIN AKU KAN?! AKU TAU KAMU ITU MAU NGERJAIN AKU MAKANYA KAMU GAK TEMUIN AKU DI RESTORAN TADI!" teriak Fizza sambil menggedor-gedor pintu rumah di hadapannya.

Sabintang AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang