Satu lagi hari yang sama.
Hari di mana rahma hanya bisa berdiri di belakang jendela kamarnya, menatap keluar dengan sedikit menyikap horden.
Rahma dapat melihat lelaki itu yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya, seperti biasa, bersama rania yang sedang memberikan pengertian padanya.
Rahma tidak tau apa yang sedang dikatakan oleh kakaknya kepada lelaki itu, apakah sama persis seperti yang ia pintakan, atau justru sebaliknya. Rahma tidak bisa mendengar percakapan mereka.
Namun yang jelas, rahma dapat melihat raut kekecewa itu, lagi.Ada sesak dan perih yang menjalar saat rahma melihat pundak itu menjauh. Terus menjauh hingga akhirnya hilang dari pandangannya.
Sekali lagi rahma hanya bisa diam, mengunci mulutnya rapat-rapat agar tidak meneriakka nama lelaki itu, agar tidak menyuarakan rindunya yang semakin lama semakin banyak.
Mungkin lelaki itu berpikir jika inilah yang dirinya mau, namun lelaki itu salah, rahma tidak pernah menginginkan ini. Justru sebaliknya, rahma tidak ingin lelaki itu pergi jauh dari sisinya.
"Rahma "
Rahma menoleh, mendapati kakaknya yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya."Kau keterlaluan rahma. Kalau nanti tuan nazar datang lagi, bicara saja sendiri! Aku tidak mau menyakiti perasaannya lagi, rahma"
Rania meleparkan sebuah paper bag ke tempat tidur rahma, langsung membanting pintu kamar adiknya itu dengan lumayan keras.
Membuat air mata rahma terjatuh.
Kakaknya itu benar, ia sudah sangat keterlaluan.
Ia selalu meminta pada kakaknya untuk mengatakan jika ia sedang pergi bersama dimas, atau ia sudah sangat bahagia dengan dimas. Hanya demi satu alasan, agar lelaki itu membencinya, pergi jauh dan kemudian melupakannya.
Rahma mengambil paper bag yang tadi dilemparkan oleh kakaknya, kemudian dengan kedua tangan dan bibir yang gemetar rahma membukanya.
Rahma tidak bisa lagi menahan isaknya saat menjumpai apa yang ada di dalam paper bag itu. Sekotak susu ibu hamil beberapa tablet vitamin, dan juga sepucuk surat.
Rahma langsung meraih surat itu, membuka lipatannya, membacanya dengan kedua bola mata yang masih berkaca.
"Rahma, aku harap kau selalu menjaga kesehatanmu, kesehatan bayi kita. Jangan banyak lakukan sesuatu yang bisa membuatmu lelah, cukupkanlah istirahatmu rahma.
Rahma, meskipun kita tidak lagi bersama, aku ingin hubungan kita tetap baik-baik saja. Kita boleh saja berpisah, tapi tolong rahma, jangan pisahkan aku dengan anak kita.
Sudah cukup sulit hidupku tanpamu, rahma.
Jangan membuatnya semakin hampa, semakin menyiksa.Aku mencintaimu, selalu.
Nazar.
Rahma menciumi kertas itu berulang-ulang, mendekapnya erat seolah yang ada dalam dekapannya adalah lelaki itu.
"Maafkan aku mas... "
Bayi dalam perutnya itu menendang, cukup membuat rasa bersalah itu semakin menghantuinya. Sejak ia memutuskan untuk pergi dari rumah suaminya itu, sejak itu pula rahma dapat merasakan kerinduan dari dalam hati mungil yang saat kini masih dalam perutnya. Bahkan di setiap malamnya pun, ia merasa sulit sekali untuk tertidur. Ia tidak bisa tertidur tanpa usapan hangat dari tangan lelaki itu.
Rahma mengusap perut besarnya perlahan, kini hanya tinggal menghitung hari untuk menuju persalinannya. Jujur, rahma sangat takut dan juga cemas soal hal itu, ia takut sendiri, ia menginginkan lelaki itu ada di sisinya, untuk memberinya ketenangan. Namun rahma tidak bisa melakukan apa-apa, rahma tidak bisa mengingkari janjinya kepada nadia.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝑶𝒖𝒓 𝑯𝒖𝒔𝒃𝒂𝒏𝒅 (𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞)
Romance(COMPLETED) Berbagi itu indah. Sejak secil ibunya selalu mengajari hal itu kepada rahma. Tapi, jika berbagi suami? Itu tidak akan semudah membangikan permen dan mainan. Berbagi suami itu menyesakkan. Terlebih jika suaminya adalah nazar. Nazar...