16. Cinta Buta

7.2K 528 63
                                    

Motor yang dikendarai dimas berhenti ketika mereka sampai di halaman rumah.

Lelaki itu menoleh, mendapati rahma yang tengah tertidur pulas di pundaknya.

"Rahma "
Dimas memanggil lirih, namun yang dipanggil hanya menggeliat sesaat. Membuat lelaki itu tersenyum tipis.

Pendek,cengeng, dan cerewet.
Dulu hanya sebatas itu pemikirannya soal rahma.

Dulu ia pikir rahma hanyalah gadis pendek yang menyebalkan, gadis cengeng yang akan selalu menangis jika diusili sedikit saja.
Juga gadis cerewet yang tidak bisa berhenti mengocehi kecerobohannya.

Namun ternyata ia salah.

Rahma lebih dari itu.

Rahma adalah senyumnya, amarahnya, tangisnya, rindunya, darahnya, hatinya, detak jantungnya, rahma adalah segalanya baginya.

Dimas mengelus puncak kepala rahma dengan sebelah tangannya.

Andai saja ia mendengarkan perkataan ibunya tiga tahun lalu,

"Dim, kau masih memikirkan rahma? Kau masih mencintainya? "

Dimas menurunkan kaca mata, menutup buku yang sedang ia baca.

"Ya "

"mengapa tidak menjemputnya? "

Mengapa ia tidak menjemput rahma?
Padahal siang malam ia selalu memikirkan sekaligus merindukan gadis itu.

"Belum saatnya "
Jawaban singkat, terlalu klise untuk dijadikan sebagai sebuah alasan.

"Jangan terlalu lama menunda dim, rahma gadis cantik, yang hatinya baik. Kalau tidak sekarang artinya tidak akan "

Lelaki itu tampak menghela napas berat, tanpa kata meninggalkan ibunya di ruang tamu.

Yang sebenarnya bukan waktu yang menjadi permasalahan. Tapi keberaniannya untuk menghadapi kenyataan.

Apa rahma juga mencintainya?

Rahma kembali menggeliat, kedua kelopak matanya mulai terbuka dengan perlahan.

"Dim "

Sambil mengucek kedua mata, rahma memperbaiki posisi.

"Kita di mana? "
Wajah polos rahma selalu saja membuatnya terpana. Antara kagum dan gemas ingin mencubit pipinya

"Mars "

Rahma memukul sebelah pundak dimas, kali ini sebuah pukulan keras yang membuat lelaki itu mengaduh namun tertawa kemudian.

"Terimakasih ya dim, maaf merepotkan"

"No problem "

Rahma turun dari motor dimas dengan senyum di bibir. Perempuan itu memang tidak mengatakan banyak hal sebagai ucapan perpisahan, namun kedua matanya seolah menggambarkan.

"Maaf nggak bisa ngajak kamu mampir, ini sudah malam "

"It's ok, lagi pula rumah kamu ada anjing galaknya "

"Anjing? Nggak ada kok dim "

Lelaki itu lagi lagi dibuat tertawa oleh rahma.
Dan seperti biasa rahma hanya akan menatap heran.

"Sudah sana masuk, dingin, nggak baik buat perempuan hamil"

Meskipun masih penasaran, akhirnya rahma mengangguk pasrah, mengingat jika perkataan dimas memang benar adanya.

𝑶𝒖𝒓 𝑯𝒖𝒔𝒃𝒂𝒏𝒅 (𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang