11. Pulang bareng?

51 7 1
                                    


---***---

"Dari pada ngelamun, aku anterin pulang yuk...",

Spontan lamunan Safira terbuyar,

Safira diam, matanya menghindari pandangan Revan. Otaknya berpikir keras, menimang-nimang tawaran Revan.

Haruskah ia menerima tawaran Revan? Jika ia ingin jujur, sebenarnya Safira memang ingin cepat-cepat pulang, mengingat hari yang semakin sore dan hujan yang semakin lebat. Entah mengapa, Papa nya tak kunjung datang menjemput Safira, bahkan tak ada notif maupun telpon masuk dari Papa nya. Entah apa yang terjadi, semoga tidak terjadi apa-apa.

Untuk tawaran Revan jika dipikir-pikir lagi, ia mengemudikan sebuah motor gede. Apa Safira harus menaikinya ? Yang benar saja, Safira memakai rok panjang sedangkan motor itu cocok digunakan jika penumpangnya memakai celana.

"Kamu suka bengong ya?", Tanya Revan yang sedari tadi melihat Safira kebingungan dengan tawaran yang ia ajukan.

Lagi pula apa salahnya menerima tawaran baik Revan, toh ia juga sudah tau letak rumah Safira. Dan satu hal lagi, Revan kasihan dengan Safira yang sepertinya mulai kedinginan dengan suasana hujan yang sangat lebat.

"Untuk yang kedua kalinya aku tanya, kamu suka bengong?", Revan kini menatap Safira dari samping.

Seperti yang ia duga, gadis itu masih saja menatap jalanan. Sebenarnya, apa yang menarik dari aspal yang selalu dilintasi oleh banyak kendaraan, di injak-injak, dan kini mulai basah terguyur hujan.

Lebih menarik juga gue, kenapa yang dari tadi dilihatin cuma jalanan?, Pikir Revan dalam hati.

Revan jengah, ia mengambil ponselnya dan memainkannya. Meladeni Safira memang membutuhkan tenaga, tentunya kesabaran tingkat tinggi. Tak lama. Revan memasukkan ponselnya lagi ke saku celana nya.

"Apa aku perlu berlutut di depan kamu biar kamu mau natap aku Ra?", Tanya Revan yang kesekian kalinya.

Safira tak menggubris pertanyaan Revan, pikirannya sibuk memikirkan keberadaan dan keadaan Papa nya. Lagi pula, mustahil jika Revan sampai berlutut di depan Safira.

Revan menghela nafas nya kesal, ia bangkit dari tempat duduk dan melangkahkan kakinya.

Sepertinya, Revan sudah lelah menghadapi ku. Alhamdulillah..... maaf Revan, aku tak bermaksud mengacuhkan mu, tapi tidak nyaman jika aku disini dengan mu, pikir Safira.

Safira memang sengaja melakukannya agar Revan pergi, dan membiarkan Safira menunggu kedatangan Papa nya sendiri, ingat, hanya sendiri.

Namun apa yang dilakukan Revan selanjutnya membuat Safira diam. Revan berlutut di hadapan Safira, menatap bola mata nya yang sedari tadi mengacuhkan keberadaan dirinya. Revan, laki-laki yang kini berlutut di depannya benar-benar melakukan apa yang ia katakan.

"Kamu apa-apaan sih Van?, Berdiri gih, diliatin banyak orang tuh", ungkap Safira yang merasa tak enak menjadi pusat perhatian. Bahkan sekarang, Safira terus menatap ke bawah, menghindari tatapan dari orang-orang.

"Biarin, emang aku peduli ?"

Safira tak merespon Revan, dirinya masih terpaku dengan aksi konyol Revan. Matanya menatap kesana-kemari asalkan tak menatap Revan.

RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang