4. Cowok nyebelin

263 26 3
                                    


Zeon menatap Zidan dengan tatapan memelas, setelah melihat sang Kakak membawa pulang sebuah mainan yang berbentuk robot mini series yang katanya super langka. Hampir seharian ini dia menempel padanya seperti parasit, bahkan ketika Zidan ingin pergi ke kamar mandi, bocah 6 tahun itu sibuk menggedor-gedor pintu kamar mandi itu agar Kakaknya meminjamkannya robot itu.

“Ayolah Kak, Zeon janji mainnya cuma sebentar aja kok. Habis itu poto-potoan buat di IG,” katanya masih membuntuti sang Kakak, Zidan membalikkan badanya setelah bosan setengah hari ini dibuntuti terus, matanya memicing. Membungkukkan badannya menyesuaikan tingginya kemudian mendorong kan kening Zeon dengan jari telunjukannya.

“Ngapain sih?” tanyanya galak.

“Pinjem robotnya,” katanya memohon.

“Itu punya Dika, dia cuma nitip disini sebentar aja. Besok juga mau diambil lagi,” Zeon mendengus sebal, berbalik meninggalkan Zidan setelah mendengar bahwa ternyata itu bukan punya Kakaknya.

“Eh bocah elo mau kemana?”

“Mau bobok,” sautnya dengan wajah kesal.

“Katanya tadi mau main robot,” Zeon mengerutkan keningnya berpikir apa yang dimaksud sang Kakak.

“Emang boleh?” tanyanya dengan wajah polosnya. Zidan mengangguk dengan senyum jahil yang sudah terpasang diwajahnya.

“Hore, Zeon boleh main robot F,” serunya senang.

“Tapi Kakak punya satu syarat.” Katanya menyunggingkan sebelah bibirnya.

@@@@
Zulfa menghela nafas dalam, menatap kesal ke arah lelaki yang tengah menatapnya dengan senyum anehnya. Zidan lelaki itu terus saja mengganggunya saat di kantin bahkan saat kembali ke dalam kelas.

“Kalau tangan lo nggak bisa diem, gue janji bakalan iket tu tangan di depan tiang bendera,” katanya geram.
Bukannya takut, lelaki itu malah menahan tawanya melihat gadis itu marah.

“Kenapa ya gue suka banget lihat elo marah kayak gini, kelihatan lebih cantik,” Zulfa sama sekali tidak terpengaruh dengan gombalan lelaki itu malah dia semakin kesal dengannya.

“Bisa diem nggak sih?” katanya merampas buku catatan yang telah diambil oleh Zidan. Lelaki itu tampak semakin gemas.

“Balikan yuk!” ucapnya asal. Zulfa menghentikan tangannya yang tengah merampas buku itu, mentap Zidan dengan raut muka dingin.

“Wah elo hebat banget ya?”

“Mudah banget ya lo bilang kayak gitu,” Zulfa menggigit bibirnya yang mulai gemetar, dia kembali mengingat kejadian dua setengah tahun lalu. Saat dengan teganya lelaki di depannya itu memutuskannya setelah dirinya ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya.

Jika ditanya bagaiamana perasaannya, sesungguhnya sampai saat ini dia masih tidak bisa menghilangkan perasaannya kepada lelaki itu. Tapi dia berusaha berdamai dengan hatinya. Mencoba kembali untuk berteman seperti sedia kala.
Zidan mengerjapkan matanya, sadar dengan apa yang telah dia lakukan.

“Gue cuma becanda kok,” katanya menyesal.

“Lagian ini juga bukan kali pertamanya kan gue bilang gitu,” lanjutnya membela diri.

“Elo emang nggak pernah berubah!” teriaknya tanpa sadar, kelas yang tadi ramai seketika berubah mencengkram. Perhatian mereka terfokus kepada kedua sejoli yang terkenal jadi sahabat sejak mereka putus.

Zulfa  menutup mulutnya, sadar bahwa teriakannya telah membuat mereka menjadi pusat perhatian. Dia menghela napas dalam dan kembali mengatur emosinya. Setelah merasa tenang dia pun kembali duduk seolah tidak terjadi apa-apa.

Zidan berdiri. “Apa kalian nggak punya TV di rumah, udah bubar-bubar,” Zidan menyuruh teman-teman sekelasnya untuk tidak melihat ke arah mereka lagi.

“Elo lagi PMS ya?” Zidan kembali duduk di hadapan gadis itu, Zulfa menatap Zidan tajam. Tidak menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Yah gue di cuekin. Maaf deh udah buat lo marah. Sebagai permintaan maaf gue,” dia menghentikan kalimatnya, sejenak berpikir kemudian bangkit dari duduknya dan keluar dari kelas itu.

Zulfa yang berusaha mengabaikan lelaki itu sedikit melirik melihat kepergian Zidan. Dasar cowok nyebelin. Katanya dalam hati. Kemudian kembali membuka bukunya.

“Ini sebagai tanda permintaan maaf gue,” sebuah bunga matahari berserta akarnya tiba-tiba terpampang di depan wajah Zulfa, Zidan tersenyum memperlihatkan giginya dengan wajah konyolnya.

“Zidan lo dapet bunga itu dari mana?” tanyanya tidak percaya.

“Di depan kantor,” ujarnya tanpa rasa bersalah, antara kesal dan geli Zulfa  menyuruh lelaki ini kembali menanam bunga itu ke tempatnya, sebelum diketahui oleh kepsek.

@@@
Tiwi membolak-balik buku paket Fisika dengan paniknya, dia tidak bisa membayangkan bagaiamana Pak Hilman akan menghukumnya bila dia tidak mengerjakan PR dari guru killer itu, dia menyalahkan dirinya karena tidak mengingat PR yang diberikan oleh Pak Danu pekan lalu. Fatimah yang baru masuk kedalam kelas menatap gadis itu bingung, keringat sebesar biji jagung sudah tampak mengalir di kening gadis itu.

“Kamu kenapa?” tanyanya dengan wajah kebingungan. Tiwi menatap Fatimah dengan wajah memelas andalannya, digenggamnya tangan gadis itu kuat.

“Fatimah tolongin gue, elo udah kerjain PR dari pak Man kan? Kalau udah gue mohon biarin gue lihat punya elo, plissssssssssss” mohonya tanpa jeda.

Fatimah mengangguk sebagai jawaban, diambilnya tas yang telah diletakan di kolom mejanya, membuka buku yang telah di persiapkan dari rumah tadi pagi. Saat dia membuka buku Pr-nya, alangkah kagetnya dia melihat tulisan dengan bacaan I LOVE YOU ABANG ZIDAN di bukunya itu. Sepertinya bukan hanya dirinya yang kaget, Tiwi yang tadi panik pun berubah seketika menjadi penasaran.

“Elo?” tanyanya tidak percaya, kontan saja Fatimah langsung menggelang kepalanya dan melambai-lambaikan tangannya menyangkal.

“Ini bukan tulisan aku.” Katanya menyakinkan.

“Zidan!” serunya geram, mengambil bukunya dan keluar dari kelasnya dan mencari sosok lelaki yang telah mencoret-coret buku catatannya tanpa izin. Tiwi yang melihat itu pun segera mengikuti ke mana gadis itu pergi.

Zidan, terlihat tengah mengais-ngais tanah untuk dirinya kembali menanam bunga matahari yang sempat dicabutnya asal, tanpa mengetahui keberadaan Fatimah di belakangnya yang sudah berdiri dengan raut wajah merah.

“Ini, kamu kan yang nyoret-nyoret buku catatan aku?” tanyanya langsung setelah melihat Zidan, cowok itu tampak menatap ke arahnya dengan dahi berkerut.

“Zeon yang nulis,” ucapnya santai. 

“Tapi ini tulusan kamu kan?” tanyanya mulai kesal, setelah beberapa hari mencoba bersabar akhirnya dia gerah juga dengan kejailan Zidan.

“Meski pun kita tinggal bareng. Gue nggak pernah masuk ke kamar elo kok, tanya aja Mami kalo nggak percaya!”

Tiwi menutup mulutnya tidak percaya, apa sekarang dia baru mendengar bahwa mereka tinggal bersama? Tatapan dan bisikan terdengar jelas di sekitar mereka.

Jangan lupa vote dan komennya ya☺

Diantara Dua Pilihan (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang