13. Khawatir

183 18 2
                                    

Suara detik jam terasa sangat jelas di pendengaran Zidan. Dia tampak khawatir. Sudah jam 10 malam namun Fatimah masih saja belum pulang ponselnya pun tidak dapat dibuhungi. Sesekali Zidan keluar melihat apakah gadis itu sudah pulang atau belum.

Sebenarnya dia ingin bertanya kepada Maminya namun dia terlalu gengsi untuk bertanya apalagi harus pergi ke rumah sakit menjemput gadis itu. 

"Sayang kamu mau keluar?" Tanya Maminya saat melihat Zidan hendak keluar. 

"Nggak Mi cuma mau cari angin aja bentar," dustanya.

"Kirain kamu mau keluar,"

"Emang kenapa Mi?"

"Mami mau minta tolong jemputin Fatimah di rumah sakit. Tadi Fatimah bilang dia mau pulang antara jam 9 atau 10an. Makanya dia nggak ikut pulang sama Mami.  Tapi kalo kamu keberatan Mami bisa minta tolong Zaky buat.... "

"Biar Zidan aja Mi, Kak Zaky pasti lagi sibuk," potongnya, segera berlari  kekamarnya untuk mengambil jaketnya dan kunci mobilnya. Kaki panjangnya melesat membuka pintu depan, dan berlari kearah bagasi. Baru ingin membuka pintu mobil, sebuah taxi tiba-tiba berhenti didepan gerbang. Memperlihatkan Fatimah yang baru keluar dari sana.

"Kamu mau kemana?" tanya Fatimah setelah membuka pintu gerbang. Zidan tampak menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Dia bingung harus mengatakan apa. Jika dia mengatakan hendak menjemput gadis itu, rasanya sangat malu. Sementara Fatimah sudah berada di depanya.

"Adit tadi nelpon katanya dia mau traktir gue," katanya asal. Fatimah mengangguk.

"Kalau gitu salam sama Adit ya," ujarnya polos, kemudian pergi meninggalkan Zidan yang tampak bingung sendiri. Dia menghela nafas dalam, menyesal dengan kebohongannya.

"Ya kali Adit mau traktir gue, sementara dia lagi asik main futsal sama Benni," gumamnya pada dirinya sendiri.

"Trus gue harus ngapain. Males banget kalau harus keluar." Dia tampak menyunggingkan bibirnya membentuk senyum. Merogoh ponselnya dan pura-pura menempelkan benda pipih itu ke telinganya.

Berjalan melewati Fatimah yang masih berjalan dengan pelan.  "Ya Dit nggak apa-apa kok gue ngerti, sante aja lagi, ya udah assalamu'alaikum, " katanya diakhir kalimat.

"Katanya Adit ada acara keluarga jadi nggak jadi traktir gue," ujarnya melihat Fatimah yang tampak bertanya-tanya.

"Acara keluarga di jam sepuluh malem?" tanyanya bingung. Zidan memutar bola matanya. Seperti sedang berpikir.

"Lo si nggak tahu gimana keluarganya Adit. Kayak Adit, keluarganya juga aneh," katanya asal.

"Oh gitu ya?"

"Iya,"  Zidan mengangguk, dan buru-buru melangkah meninggalkan Fatimah dibelakang.

"Nggak jadi pergi?" tanya Ina, saat melihat Zidan yang kembali masuk kedalam, Zidan mengguk dan melepas jaketnya.

"Dia udah naik taxi," ujarnya malas. Ina tampak mengangguk dan menyuruh Zidan untuk ikut makan buah bersamanya.

"Zidan mau tidur Mi," katanya kemudian melesat kedalam kamarnya.

@
Zidan menyapu pandangannya kelangit-langit kamarnya. Dia tampak bingung dengan dirinya sendiri dan juga perasaannya.

Belakangan ini dia merasa aneh dengan dirinya. Dia selalu merasa terusik saat Fatimah tidak berada disekitarnya. Bayangan Fatimah yang tersenyum dan tertawa lepas selalu tergambar dikepalanya,  dadanya akan berdebar kencang saat gadis itu berada disekitarnya. Walaupun sebenarnya ini bukan pertama kali dia merasakan perasaan aneh ini kepada gadis itu. Meskipun pada awalnya dia sempat menyangkal perasaannya sendiri. Tapi, kali ini dia sudah bisa menerima perasaannya.  Zidan meraih ponsel yang ada di atas meja belajarnya. 

Tanganya dengan cekatan mengetik pasword benda pipih itu hingga berhasil masuk.  Ditekannya tombol menu  dan memilih membuka app Galery.  Disana terdapat banyak sekali folder yang tersusun dengan rapi berdasarkan abjadnya.

Dipilihnya salah satu folder dan muncul banyak sekali poto yang berhasil diambilnya.  Namun gambar itu hanya menampakkan poto Fatimah dengan berbagai pose yang terlihat diambil secara diam-diam. 
Suara ketukan pintu dari luar berhasil membuat Zidan terperanjat dan secara spontan langsung menekan tombol off pada ponselnya.

Sebenarnya bukan karena suara ketukan pintu yang membuatnya kaget melainkan suara Fatimah yang memaggilnya. 

"Maaf ganggu." Kata Fatimah yang tidak enak telah mengganggu Zidan malam-malam begini.

"Nggak kok. Lagian gue juga belum tidur,"

"Emang ada apa?" Tanyanya to the poin.

"Bisa pinjem buku Matematika nggak?"

"Aku lupa ternyata buku Matemaikaku ketinggalan di kelas," Fatimah memberikan penjelasan sebelum ditanya lebih lanjut.

"Gimana ya. Masalahnya gue juga nggak punya buku Matematika." Katanya tampak menyesal.

"Terus kamu belajar pake apa dong?  Kalo ada PR kamu ngerjain dimana?" Tanya Fatimah penasaran

"Gue pinjem buku Zulfa. Terus langsung gue kerjain."
Zidan tampak berpikir.

"Tunggu bentar ya." Diapun langsung masuk mengambil ponselnya lalu menekan tombol nomer lima. Tidak sampai deringan kedua suara disebrang terdengar langsung memberi salam.

"Halo. Tumben lo nelpon?"

"Halo Fa. Pinjem buku Matik lo dong," ujarnya tanpa basa basi.

"Matik?  Buat apa?"

"Buat belajar lah masa buat bungkus kacang,"

"Receh banget."

"Nggak apa-apa gue suka uang receh kok,"

"Ya udah kalo gitu lo dateng kerumah. Gue tunggu samapai lima me." Sambunganya pun langsung dimatikan.

Melihat Zidan yang sudah keluar mengenakan jaket membuat Fatimah penasaran.

"Kamu mau kemana?"
"Lo tunggu aja sebentar." Dengan kecepatan tinggi Zidan pun sampai disebuah rumah bercat Biru. Ternyata Zulfa sudah menunggu didepan pagar rumahnya.

"Waktunya sisa satu menit dua puluh tiga detik.  Tumben lo." Kata Zulfa sambil melirik jam diponselnya. 

"Gue nggak ada waktu. Gue harus buru-buru balik.  Ya udah ya gue cabut dulu, "

"Nggak mampir dulu?" Kata Zulfa berharap.

"Lain kali aja.  Ya udah ya, bye." Katanya sambil memasang helmnya dan berlalu.

Setelah sampai Zidan melihat Fatimah yang tengah menunggunya di ruang keluarga bersama dengan Maminya yang sedang menonton acara kesukaannya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam. Kamu habis dari mana malam-malam gini?" Tanya Maminya melihat anaknya yang baru pulang.

"Ada urusan sebentar Mi, Tim.  Nih bukunya." Katanya sambil menjulurkan buku yang baru saja dipinjamnya.

"Kamu pergi pinjem buku ini?"

"Nggak cuma kebetulan aja. Kebetulan gue ada keperluan diluar. Sekalian aja gue pinjemin."

"Kamu juga nggak usah paksaikan diri begadang ngerjain PR-nya." Katanya perhatian namun beberapa detik kemudian Kata-kata nya seperti menghakimi.

"Kalo nggak mau bangun kesiangan.  Dan lain kali  kalo ada PR langsung dikerjain nggak usah tunggu besok,"  Ina tersenyum mengejek mendengar putranya itu. 

"Siapa coba yang sering bangun kesiangan," timbal Ina. Zidan menyipitkan matanya.

"Yang pentingkan Zidan udah solat dulu, lagian anak cowok sama cewekkan beda,"

"Ngeles aja kayak bajaj."  Ujar Ina berdecak.

Diantara Dua Pilihan (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang