Changi Airport tampak seperti lautan manusia. Diantara keramaian itu Ina dan Mario ditemani oleh Zidan dan Sherly, adik Mario sedang menunggu untuk penerbangan menuju Indonesia.
"Sayang kamu beneran nggak mau ikut Mami sama Papi pulang?" Ina mengenggam tangan anaknya itu. Ini sudah yang kesekian kalinya dia membujuk Zidan untuk pulang ke Indonesia.
"Don't worry Ina, i'll take care of him. Zidan will save with me and my husband," Sherly, menenangkan Ina yang tampak khawatir.
"I trust you, but i just wanna him to go back to his hometown, you know it been to long since,..."
"Insya Allah. Kalo Zidan udah bosan di sini baru Zidan pulang." katanya memotong kalimat Maminya, dia tahu kemana arah pembicaraan itu akan berakhir.
"Terus kapan bosennya? Mami udah nunggu 4 tahun lebih tapi kamu belum bosen-bosen juga."
"Udah biarin aja Zidan di sini. Kan bagus dia bisa ngurus anak perusahaan yang ada di sini."
"Ih Papi. Pekerjaan aja yang di urus nggak kangen apa sama anaknya. Masa lebih mementingkan perusahaan dari pada anaknya sendiri." Zidan tersenyum mendengar Maminya yang mengomeli Papinya.
"Udah-udah pesawatnya bentar lagi mau flight tuh." Ujarnya sambil melihat jam yang ada di ponselnya.
"Jaga diri ya sayang." Setelah mengatakan itu Ina memeluk anaknya itu dan mengucapkan selamat tinggal pada Zidan dan iparnya.
@
Zidan menatap gemerlapnya malam yang dipenuhi dengan gedung pencakar langit melalui kaca apertemen tempatnya tinggal selama 4 setengah tahun ini.
Dia melirik ponselnya sekilas dan kembali melihat pesan dari Adit yang diterimanya beberapa menit yang lalu.
Pandangannya kembali teralih oleh gemerlapnya malam negeri singa itu. Dia terus berpikir, haruskah dia pergi? Tapi, jika dia pergi sanggupkan dia bertahan?
Zidan menghela nafas panjang. Ingatannya seolah kembali meluncur ke kejadian beberapa tahun silam. Setelah pergi melarikan diri ke tempat ini. Hingga saat ini, dia belum pernah pulang ke tanah kelahirannya. Dia hanya tidak ingin membuat gadis itu merasa bersalah.
Setelah kejadian malam itu, Zidan memutuskan untuk berubah. Dia sadar, kenapa Allah mengujinya dengan perasaan yang seharusnya dia simpan rapat. Bertahun-tahun hidup dengan bermain-main, sekarang dia sudah tidak ingin lagi menyia-nyiakan waktunya. Seperti yang selalu Fatimah katakan padanya .
"Kalau kamu terus kayak gini, kapan kamu bisa jadi imam yang baik untuk keluargamu kelak?"
Tanpa sadar bibirnya terangkat membentuk senyum. Namun beristigfar setelah itu, dia sadar bahwa tidak sepantasnya dia mengingat perempuan yang sudah menikah apalagi sekarang gadis itu sudah menjadi kakak iparnya. Ya, itulah yang dia tahu.
Zidan memang tidak tahu pernikahan itu dibatalkan. Jangan tanya kenapa. Karena, dia terlalu sibuk menghindar saat siapa pun mengungkit tentang gadis itu.
Treet treet
Ponselnya berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Dibacanya siapa pengirim pesan itu yang ternyata dari Zeon.From Zeon
Kak kata Mami Kakak nggak mau pulang. Padahal Zeon sebentar lagi mau lulus dan masuk pesantren. Terus kapan dong Zeon ketemu sama kakak lagi. Kak Zidan emang nggak kangen sama Zeon? Semenjak kakak pergi, kak Zaky juga pergi kakak Fatimah apalagi, sibuk banget di rumah sakit. Kadang Zeon cuma sendiri di rumah.Zidan mengetik balasan pesan dari Zeon. Sebenarnya dia tidak ingin membuat adiknya kecewa. Apalagi mereka sudah lama tidak ketemu. Maminya kadang menceritakan tentang Zeon kepadanya. Jadi dia tahu kalau adiknyaa itu sudah khatam menghafal Al-Qur'an dan ingin masuk pesantren untuk memperdalam ilmu agamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Dua Pilihan (END)
Spiritual(⚠)Follow dulu yuk sebelum membaca!!! Fatimah gadis remaja yang mulai memperbaiki dirinya setelah kejadian tragis yang merenggut nyawa Ayahnya. Kehidupannya mulai berubah saat Ina, sahabat dari kedua orang tuanya datang untuk mengajaknya tinggal ber...