32. Kembali

308 21 8
                                    

"Semua tidak sesederhana yang kakak pikirkan. Fatim tidak dalam kondisi itu sekarang. Fatim harap kakak mengerti."

"Apa ini karena tante Tiara?" Seperti bisa membaca pikiran gadis itu Zaky menembak tepat sasaran.
Memilih untuk diam Fatimah permisi dari ruangan itu.

Terlihat gurat kesedihan pada laki-laki itu. Semua tentang gadis itu adalah pertama kali baginya. Cinta pertama dan penolakan pertama yang dia rasakan dalam hidupnya membuatnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Terlebih oleh gadis yang sangat dia inginkan untuk menjadi makmumnya.

Dari balik pintu Fatimah memikirkan keadaanya sekarang. Tidak tahu kenapa dia harus berurusan dengan kedua kakak beradik yang dia sendiri tidak tahu kemana hatinya terpaut.

Fatimah tidak ingin berlarut-larut memikirkan masalah itu. Yang ingin dia lakukan sekarang hanya fokus pada pekerjaannya dan bisa menyelesaikan masa coasnya sesegera mungkin dan mengurus mamanya.

Galih menghampirinya yang masih melamun di sana.
Setelah menyadari keberadaan Galih. Fatimah meminta maaf karena menghalanginya yang ingin masuk ke ruangan Zaky.

"Kamu kelihatan pucat, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Galih melihat Fatimah yang terlihat lemas.

Fatimah hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan dari Galih membuat laki-laki itu khawatir dengannya.

Merasa heran karena setelah masuk dia juga melihat Zaky dengan ekspresi yang sama persis seperti Fatimah tadi. Galih berpikir sepertinya ada masalah pada mereka berdua. Tapi dia memutuskan tidak ingin menjadi orang yang kepo dengan masalah pribadi orang lain

"Ini laporan perkembangan beberapa pasien yang Dokter minta," ucap Galih menyerahkan lembaran kertas itu pada Zaky.

"Terimakasih. Kamu boleh pergi"

"Baik Dok."

Tatapannya kosong memandang tubuh yang masih berbaring selama 7 tahun lebih itu. Hatinya hancur saat Dokter mengatakan dia harus bersiap dengan kondisi terburuk yang harus di hadapannya nanti. Setiap kali membayangkan itu dia merasa dihujani tusukan pedang yang terasa sangat menyakitkan. Sepertinya dia belum ikhlas jika hal itu terjadi.

Seorang perawat masuk untuk melihat kondisi Tiara.

"Mbak Bianka. Bukanya jadwal periksanya sudah tadi pagi?" Tanyanya pada perawat yang sudah 7 tahun memantau kondisi perkembangan mamanya itu.

"Tadi Dokter Zaky dateng dan menyuruh saya melihat kondisinya sore ini."

"Dokter Zaky?" gumamnya

"Saya kira kamu sudah tahu jadwal rutin Dokter Zaky memeriksa kondisi mamamu. Kalo nggak salah semenjak mamamu baru di pindahkan dari sini dia tidak pernah absen untuk datang walau jadwal operasinya padat dia tetap menyempatkan dirinya untuk sekedar melihat saja."

Antara percaya dan tidak bagaimana mungkin Zaky tetap menjenguk kondisi mamanya sedangkan dia sebagai anaknya saja kadang absen lihat mamanya.

Fatimah merasa bersalah sekaligus bersyukur ternyata masih ada yang memperhatikan kondisi mamanya selain dirinya.

Dia jadi teringat saat Zaky bertanya tentang alasan dia menolak lamarannya apakah karena kondisi mamanya.

Saat hendak menuju ruang istirahat Fatimah berpapasan dengan Zaky. Laki-laki itu membuang muka ketika mata mereka beradu dan hanya melewatinya tanpa sepatah kata pun. Seolah tidak terjadi apa pun pada mereka. Ada rasa kecewa saat dia tak acuh padanya.

"Padahal baru aja ada matahari yang berhasil mencairkan es yang beku. Sekarang setelah matahari bergeser dia jadi beku lagi." ucap Firda yang sedang bersama Fatimah.

@@

Semua tumpukan kertas itu berhasil membuat Zidan bergeming di tempat duduknya. Dari dia datang sampai pajar sampai terbenam pun anehnya kertas-kertas itu masih di posisi semula.

"Sepertinya sekarang ini kamu mau balas dendam. Aku sudah bilang untuk mengosongkan jadwalku tapi bukan untuk ini. sampai kapan aku harus memeriksa semua proposal-proposal tidak jelas ini?"

Vina tersenyum mendengar atasannya yang terus-menurus mengeluh dari tadi. Pasalnya proposal yang dia baca itu tidak pernah berkurang sedikitpun.

"Bukannya anda bilang mau bekerja sangat keras dan menghasilkan banyak uang. Ini semua adalah uang," tunjuk Vina pada tumpukan kertas-kertas itu.

"Apa kamu bercanda sekarang?"

"Maaf pak saya tidak berani bercanda di posisi saya saat ini."

"Singkirkan semua ini sekarang. Saya mau pulang."

"Baik Pak."

Zidan menekan tombol lift yang ada di hadapannya agar lift itu segera tertutup.

"Stop!" sergah Vina berlari dari kejauhan dan menahan pintu lift itu dengan tangannya lalu masuk ke dalam.

"Ckckckckc. Kamu sengaja kan biar aku nggak bisa masuk?"

"Kamu punya dua kepribadian ya?" tanyanya memicingkan matanya. Zidan mendengus memalingkan wajahnya dari gadis itu.

"Jangan ajak aku ngobrol, aku lagi nggak mood," ujarnya malas, bukanya tersinggung Vina malah terbahak mendengar bosnya bicara seperti itu.

"Kamu seriusan Zidankan?" tanyanya masih dengan sisa tawanya.

"Vin, saya serius!"

"Oke." Ucapnya lalu menggerakkan tangannya ke depan mulutnya seperti menarik zipper pada baju.

Pintu lift terbuka menandakan mereka sudah sampai di loby. Zidan melangkahkan kakinya keluar dari sana yang diikuti Vina dari belakang.

"Zi, tunggu. Jalannya pelan-pelan." teriak Vina sedikit berlari menyelaraskan jalannya dengan Zidan.

"Siapa suruh pendek," ledeknya pada gadis itu.

"Apa kamu bilang? Kurang ajar. Awas ya," lalu mengejar Zidan yang sudah berhasil masuk ke mobilnya.

"Aku duluan ya Vin dah," ledeknya sambil melambai dengan penuh kepuasan.

"Dasar kekanak-kanakan," ucap Vina yang melihat mobil Zidan semakin menjauh dari sana.

Zidan menatap lantai atas tepatnya kamar Fatimah yang tertutup rapat seperti biasanya. Meskipun mereka tinggal serumah tapi mereka jarang sekali bertemu. Kadang mereka hanya bertemu saat sarapan dan makanan malam saja. Walau akhir pekan atau libur pun sekalipun Fatimah hanya akan mengurung dirinya dan hanya berdiam di kamarnya. Dia tidak tahu aktivitas apa yang di lakukan gadis itu di dalam sana.

Tidak seperti saat mereka masih bersekolah dia bisa membuat alasan dengan menyuruh Zeon bermain dengannya tapi sekarang sepertinya alasan itu tidak akan mempan mengingat Zeon juga sudah beranjak remaja.

Seperti biasa, saat menjelang makan malam Fatimah akan turun untuk membantu mbok Darmi dan Ina untuk menyiapkan makan malam. Setelah semuanya siap barulah dia memanggil semuanya.

Suasana hikmat pun selalu tercipta dengan semuanya fokus dengan hidangan masing-masing.

"Besok, Zaky pulang jadi papi harap kalian bersikap seperti biasa," ucap Mario tiba-tiba. Ina memandang suaminya, sepertinya dia juga baru tahu tentang itu.

"Beneran Pi?" tanya Ina senang. Terlihat sekali semuanya meras senang mendengar itu. mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara keduanya. Sepertinya hubungan mereka berdua kembali membaik setelah beberapa tahun berselisih.

Nb. Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama 😉

Diantara Dua Pilihan (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang