24. Marah

147 22 2
                                    

Tidak ada yang akan menduga langit yang begitu cerah akan menurunkan butir-butir air sebesar biji kedelai. Begitulah jika Allah sudah mengendaki. Tidak ada yang tidak mungkin bagiNya.

Diluar, beberapa pasien yang duduk santai di taman rumah sakitpun langsung berlari ke dalam untuk melindungi tubuh mereka dari guyuran hujan yang secara tiba-tiba turun tanpa peringatan. Seorang anak laki-laki yang masih duduk di taman itu seolah tidak peduli dengan hujan yang mulai membasahi pakaiannya.

"Dek. Masuk dulu. Nanti kamu bisaa masuk angin kalo hujan-hujanan kayak gini." Anak itu mendongak melihat siapa yang menyapanya. Laki-laki berjas putih dengan senyum terbaiknya memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihaat tampak menawan.

"Dokter juga basah" Kata anak itu tanpa ekspresi.

"Kalau Dokter nggak mau masuk angin sebaiknya dokter saja yang masuk. Saya sudah biasa hujan-hujanan seperti ini" Zaky tidak bisa berkata-kata. Cara bicaranya seperti orang dewasa saja pikirnya.
Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan pada anak itu agar anak itu mau masuk.

"Dokter Zaky." Laki-laki yang namaya di panggil itu menoleh melihat siapa yang memanggilnya.

Fatimah, gadis itu berdiri dengan payung dan tas punggung tanpa jas yang memperlihatkan bahwa dia baru saja sampai. Dia heran meihat Zaky basah terkena hujan. Segera dia memayungi laki-laki itu.

"Dokter." Suara anak kecil itu memanggil Fatimah.

"Zaky. Kamu juga basah. Sebaiknya kita masuk saja kalau terlalu lama di di sini nanti kaalian bisa demam." Anak kecil yang ternyata mempunyai nama yang sama dengan Zaky memegang tangan Fatimah dan berjalan meninggaalkan Zaky sendiri.

"Zaky?" Gumam Zaky pada diri sendiri. Beberapa detik kemudian dia tersenyum melihat pemandangan itu.

"Zaky kan sudah janji sama dokter untuk cepat sembuh. Kalau hujan seharusnya Zaky langsung masuk supaya tidak basah."

"Zaky bosan di tempat tidur terus. Dokter juga kemarin nggak datang. Kak Risma sibuk kerja jadi nggak sempet jagain Zaky di sini." Kuluh anak itu pada Fatimah

"Maaf ya kemarin dokter nggak jenguk Zaky" Fatimah mengusap kepala anak itu.

"Sekarang Zaky ganti baju dulu ya"

"Hmm" Anak itu menganguk meniyakan, lalu berlari.
Sementara disana Zaky hanya menatap mereka dengan baju yang setengah basah.

"Dokter juga harus ganti baju," tutur Fatimah menatap lelaki itu yang masih berdiri disana.

"Dimana kamu kenal anak itu?" tanyanya tidak menghiraukan gadis itu.
Fatimah tampak tersenyum dan menerawang seperti mengingat sesuatu.

"Zaky?" Lelaki itu mengangguk, Fatimah kembali tersenyum.

"Dia pasien yang dirujuk disini, baru beberapa hari lalu pindah."

"kamu tahu dia sakit apa?"
Belum sempat Fatimah menjawab. Seorang lelaki setengah baya dengan jas putih yang sama tampak berjalan dengan wajah ketat.

"Prof?" gumam Zaky menatap lelaki itu bingung.

Plak, sebuah tamparan langsung mendarat dipipinya dengan mulus. Fatimah refleks membulatkan mulutnya. Melihat pemaandangan itu. Apa sebenarnya yang terjadi?

"Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan?" Profesor Khaikal murka. Dia baru masuk setelah cuti beberapa bulan. Dan sangat terkejut mengetahui masalah tersebut.

"Kamu tahu siapa yang sudah kamu pukul?" Pupil gadis itu melebar, dia tahu apa maksud Profesor Khaikal. Tiba-tiba rasa bersalah menghampirinya.

"Dia adalah anak dari salah satu petinggi disini,"

Diantara Dua Pilihan (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang