29. pengakuan

105 15 3
                                    

Pemandangan yang jarang sekali dilihatnya membuat Fatimah takjub dengan semuanya. Lingkungan asri dengan suasana khas pedesaan, dia pikir dia sedang tidak berada di Jakarta. Melihat anak-anak bermain dengan ceria terasa menyenangkan. Itulah yang dia rasakan saat ini, dulu orang tuanya sering sekali menceritakan kehidupan mereka di panti. Cerita yang selalu membuatnya menangis dan berhasil mengubah sudut pandangnya.  Dia jadi tahu bagaimana harus bersyukur dengan setiap keadaan yang dilaluinya.  Walau terasa sulit tapi dengan bersama, mereka bisa melakukan semuanya dengan mudah.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Fatimah mendongak melihat Zaky yang sudah berdiri di sana.

“Kakak sudah selesai ngobrol sama Ibu panti?” Zaky duduk di pinggir kursi taman di samping Fatimah. Dia tidak heran dengan jawaban yang dijawab dengan pertanyaan oleh gadis itu.

“Menurutmu?” Fatimah menautkan kedua tanganya dan mendunduk.

“Kamu pasti tahu mami sering datang ke sini.”
“Ya. Kakak, tante, Om, Zidan sama Zeon datang ke sini dua kali sebulan. Aku juga tahu tante jadi donatur tetap di sini.”

“Kamu tahu kenapa Mami nggak pernah ngajak kamu ke sini.” Fatimah menoleh ke arah Zaky penasaran. Selama mereka tinggal bersama dia tidak pernah di ajak sekalipun ke sini walau dia tahu mereka akan ke panti asuhan.

“Itu karena Mami nggak mau kamu sedih karena mengingat orang tuamu.” Fatimah memalingkan wajahnya memandang lurus ke depan. Dia tidak tahu ternyata tante Ina sangat memikirkan perasaannya.

“Beberapa hari lalu aku nggak sengaja lihat Om Mario ngelihat foto kakak. Om Mario pasti rindu sama kakak. Kalo kakak juga ikut keras kepala, aku yakin kakak pasti bakal menyesal nantinya. Setiap orang tua pasti selalu memikirkan anaknya dan selalu ingin yang terbaik buat mereka.” Zaky terkekeh melihat Fatimah berbicara seperti orang tua yang sedang menasehatinya.

“Kakak ketawa? Kakak pikir apa yang aku bilang itu lucu?” Fatimah cemberut, dia tidak habis pikir kenapa Zaky bisa tertawa di saat dia sedang serius bebicara padanya.

“Maaf. Kakak nggak bermaksud kayak gitu. Dan Terimakasih karena ngingetin masalah itu. Sebenarnya kakak nggak pulang bukan karena itu. Satu bulan yang lalu kakak udah ketemu sama Papi dan udah menyelesaikan masalah itu.”

“Jadi kakak nggak pulang selama ini karena Fatim?” tanya Fatimah memastikan.

“Kakak takut perasaan ini menjadi semakin besar kalo harus lihat kamu setiap hari,” jawab Zaky jujur. Sepertinya dia tidak ingin lagi menyembunyikan perasaannya pada gadis itu.

Fatimah terdiam mendengar pengakuan tidak langsung Zaky padanya. Tidak tahu harus bagaimana tapi kakinya benar-benar berat untuk pergi dari sana.

@@
Setelah pengakuan itu Fatimah benar-benar menghindar dari Zaky. Setiap kali dia melihat atau hanya mendengar suaranya saja Fatimah pasti akan langsung kabur dari sana. Seperti sekarang ini Fatimah secara tidak sengaja melihat seseorang yang sekilas terlihat seperti laki-laki itu.

“Fatimah. Mau ke mana?” tanya Nanda yang melihatnya sedang terburu-buru.

“Firda. Kenapa tuh anak. Nggak biasanya kayak gitu?” tanya Nanda saat Firda yang bersama dengan Fatimah tadi menghampirinya.

“Katanya dia mau ngambil stetoskopnya yang ketinggalan.”

Setelah di rasa jauh Fatimah menghela nafas, merasa aneh kenapa dia harus bersikap seperti ini. Sekeras apapun dia menghindar tentu mereka juga pasti akan segera bertemu mengingat mereka bekerja di tempat yang sama.

“Kamu ngapain jongkok di situ?” Orang yang sangat ingin Fatimah hindari ternyata sedari tadi berada di sana melihat tingkah anehnya. Dia berdiri salah tingkah memperbaiki posisi jilbabnya yang sudah bergeser.

“Oh. Maaf Dok,” sesalnya.

“Ada barangmu yang hilang?” tanya Zaky melihat ke bawah lantai mencari sesuatu.

“Bukan,” ucapnya menggeleng. Zaky mengangguk mengerti lalu melihat jam yang melingkar di tanganya.

“Sudah waktunya makan siang. Kamu sudah makan?”

“Saya..” Fatimah tidak tahu harus menjawab apa. dia tidak ingin berbohong dengan mengatakan dia belum makan. Tentu saja dia juga tidak ingin mengatakan yang sesungguhnya.

“Sepertinya kamu belum makan. Kalo begitu..”

“Saya lagi nggak nafsu makan Dok,” ucapnya memotong perkataan Zaky yang akan mengajaknya makan bersama.

“Kalo begitu temain saya makan.”

“Iya?”

Tidak seperti yang Fatimah pikirkan ternyata bukan hanya dirinya saja yang diajak Zaky. Zaky ternyata mengajak teman-temanya untuk makan bersama jadilah Fatimah di kelilingi oleh beberapa Dokter residen yang bahkan jarang dia lihat. Setelah mengantri cukup lama untuk mengambil makanan akhirnya mereka bisa duduk menikmati hidangan makan siang mereka. Awalnya Fatimah memang benar-benar berniat hanya menemani Zaky untuk makan setelah itu pergi dari sana tapi bunyi perutnya berhasil membuatnya malu di depan semua Dokter yang ada di sana.

“Udah tiga tahun jadi coas di sini. Gimana rasanya punya pembimbing killer?” tanya Dokter Revi pada Fatimah.

“Nggak usah kamu jawab,” timpal Zaky. Fatimah bingung dengan situasinya saat ini. Zaky benar-benar berbeda saat dengan teman-temanya. Dia terlihat santai dan tidak terlalu memperdulikan teman-temanya yang sedari tadi membuatnya jadi topik pembicaraan.

“Rev. Lo benar-benar nggak ngerti ya. Itu semua cuma pencitraan Zaky doang. Lagian sekarang mana berani dia killer lagi di depan cewek yang dia suka,” ucap Nurdin ceplas-ceplos.

“Cewek yang Zaky suka? Oh gitu ya.” Revi mengangguk melirik Fatimah.

“Banyak yang bakal patah hati nih kelihatannya. Kayaknya Revi juga salah satunya deh,” ucap Dokter Dira tertawa.

“Udah cukup. Sebelum semuanya benar-benar jadi Fitnah.” Ucap Zaky tegas. Semuanya terdiam tidak ada yang berani bersuara. Fatimah yang semula ingin pergi dari sana mengurungkan niatnya saat Zaky mengatakan hal itu. dia jadi merasa bersalah.

Langit tampak gelap saat Fatimah keluar dari gedung Rumah sakit. Dia mengadahkan tanganya ke langit merasakan tanganya basah oleh guyuran hujan.
“Kamu bawa payung?” tanya seseorang dari belakangnya.

“Kak Zaky?”

“Maaf. Soal yang tadi, kamu pasti nggak nyaman gara-gara mereka.” kata Zaky menyesal lalu menatap Fatimah lekat. Gadis itu memalingkan wajahnya lalu menunduk.

“Sepertinya kakak ngerti hukumnya menundukkan pandangan kepada orang yang bukan mahromnya. Bukan tanpa alasan islam mengajarkan kita untuk menjaga persaan agar itu tidak menjadi fitnah dikemudian hari. Aku tahu perasaan itu fitrah setiap orang tapi bukankah kita juga di ajarkan bagaimana menyembunyikannya agar setan tidak punya celah untuk bebisik di hati manusia.“

“Kalo begitu izinkan saya untuk menjadi mahrommu.”

Deg

Fatimah mengerjapkan matanya, merasakan jantungnya berpacu lebih kencang, dia berpikir sepertinya ada yang salah dengannya. Lidahnya kelu, seperti terkunci setelah pengakuan itu, sekarang dia mendengar lamaran spontan laki-laki itu. Kenapa dia bisa sangat terus terang mengungkapkan perasaannya.

Sementara di sana Zidan berdiri disana dengan guyuran hujan  membasahi tubuhnya, dia menyaksikan semuanya dengan perasaan yang tak karuan.

Nb. Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama 😉

Diantara Dua Pilihan (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang