20

9.1K 769 47
                                    

Pukul 8 malam terkadang terasa sore bagi beberapa orang. Ah bahkan kebanyakan orang memanfaatkan waktu itu untuk menikmati waktu luang usai seharian penuh dengan kepenatan.

Hawa dingin bukan hal yang asing lagi. Bukan halangan menikmati waktu luangkan. Beberapa hal memang terasa baik-baik saja karena terbiasa.

Tapi bagi seorang yang bahkan seharian penuh tak melakukan apapun pukul 8 malam terasa tak ada bedanya. Memanfaatkan untuk tidur tidak begitu buruk bukan.

Park Jimin, namja manis itu menutup matanya usai air matanya berhenti mengalir dan mengering meninggalkan bekas dipipi mulusnya. Ya dia kembali menangis hari ini.

Ah mungkin sudah menjadi pekerjannya. Hari lalupun ia lalui setidaknya sekali sehari dengan menangis. Yoongi tidak tau hal itu, pikir Jimin. Jimin rasa dirinya begitu cerdik bersembunyi layaknya kancil.

Sebenarnya Yoongi pun tau hanya saja ia menahan diri untuk tak menanyakan pada adiknya. Toh alasannya ia tau. Ia sudah menduga bahkan tanpa Jimin katakan.

Kaki jenjang Yoongi menggema diruangan rawat Jimin. Pemilik tak terusik barang sedetikpun. Selelah itukah dirinya bahkan sekedar mengubah posisi tangannya yang terkulai di pinggir ranjang?

Dengan gerakan pelan Yoongi membenarkan posisi tangan Jimin. Hari ini perban dibahunya sudah diganti. Dokter bilang lukanya sedikit lebih baik dari kemarin. Tidak banyak perkembangan memang mengingat pemiliknya yang keras kepala tak bisa menjaga diri dengan baik. Setidaknya sedikit perkembangan memberi kabar baik bagi Yoongi.

Sofa rumah sakit rupanya menjadi pilihan Yoongi. Dibanding dengan pulang ke dorm dengan berbagai perdebatan dengan Seokjin. Yoongi menatap meja beserta sofa di dekat jendela seolah terhipnotis, Yoongi kembali mengingat siang tadi dimana Jimin sengaja menghabiskan buburnya hanya agar Yoongi memakan nasinya. Senyum tipis terukir di bibir manisnya.

Yoongi berjalan menuju sofa. Yoongi merebahkan badannya di sofa. Beberapa hari ia lalui dengan begitu panjang. Semua kacau dengan kedipan mata.

Pihak agensi memutuskan tetap melanjutkan konser. Yoongi beberapa kali menolaknya bahkan ia menemui Pd-nim hanya sekedar meminta pengunduran konser. Tetap saja itu sia-sia.

Ayolah. Dengan hanya lima member. Apa itu hal yang baik? Bangtan itu bertujuh. Tidak berlima bahkan berenam sekalipun. Di beberapa situasi itu dapat diterima. Tapi saat ini?

Sebenarnya pihak agensi juga tak bersalah hanya saja situasi memang menuntut untuk melanjutkan konser. Tiket konser terjual habis. Jadwal stadionpun telah diatur sedemikian rupa, mengingat stadion sedang sering digunakan.

Dibatalkan hanya akan merugikan berbagai pihak. Sejujurnya tampil dengan lima memberpun bukan pilihan baik. Hanya saja itu tak lebih buruk dari batalnya konser dan menelah kerugian berjuta-juta uang.

Yoongi mengusak kasar surainya berbagai hal berputar di otaknya layaknya komedi putar. Seharian ia jalani dengan harapan cepat berlalu bahkan meski begitu semua tak kembali seperti semula.

***

Hoseok memasuki dorm lelah. Usai berbicara dengan Yoongi, ia melesat ke sungai Han hanya sekedar mendinginkan otaknya yang ia paksa berkerja keras.

Jin sedang menatap pintu dengan air muka cemas dan mungkin terlihat sedikit pucat.

Menjadi member tertua tentu bukan hal yang mudah mengingat dirinya memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga adik-adiknya. Apalagi ketidakhadiran sang leader. Itu memperburuk segalanya.

Semua menjadi lebih susah saat pikiran masin-masing tak bisa disatukan.

"Jin hyung!" Hoseok menghampiri Seokjin di sofa ruang tamu.

"Dari mana kau? Ini sudah pukul 12 malam dan kau baru pulang? Masih ingat rumah?" Seokjin menatap datar kedepan. Aura Seokjin saat ino sangat jarang ia tunjukan.

Hoseok menunduk.

"Kenapa kau jadi tidak bertanggung jawab seperti ini?"

Hoseok masih diam.

"Kupikir telingamu masih baik-baik saja!" Seokjin beralih menatap Hoseok.

"Hyung---"

"Pergilah kekamar dan tidur!!" Final Seokjin. Seokjin melenggang kekamarnya dan Yoongi yang nyatanya hanya diisi dirinya saat ini. Seokjin tidak tau kemana Yoongi selalu pergi. Yang ia tau beberapa hari sejak Namjoon hilang, Yoongi dan Jimin tak pernah dirumah. Bahkan jika agensi tak mengumpulkan mereka mungkin Seokjin hanya akan bertemu Yoongi entah kapan. Jimin? Sebenarnya ia sedikit mengkhawatirkan anak itu., hanya saja--Seokjin tak tau perasaannya sendiri.

Seokjin memutar bola mata malas. Ia harus menenangkan pikirannya. Seokjin melangkah menuju kamar mandi dan membasuh wajahnya kemudian kembali dan merebahkan tubuhnya diranjang dan memejamkan matanya.

Nyatanya menenangkan diri di sungai Han tak memberikan banyak perubahan pada pemikirannya. Hoseok tetap saja merasa buruk.

"Yoongi hyung---" Hoseok mempercepat langkahnya mengikuti Yoongi.

Yoongi mendudukkan badannya di kursi taman rumah sakit. Kepalanya ia tundukan.

Hoseok menatap heran Yoongi.

"Apa yang terjadi hyung? Kau sakit?" Hoseok menghampiri Yoongi dan duduk disamping Yoongi.

Yoongi mengusak lelehan bening dipipinya. Hoseok mengerutkan dahi. Yoongi jarang sekali menangis.

"Jangan pernah menyalahkan Jiminie--" Yoongi masih menundukan wajahnya.

"Maksud hyung?"

"Dia korban Seok-ah. Tidakkah kalian memahami Jimin. Dia juga terluka. Dia terluka saat kita bahkan tak tau apa yang terjadi. Dia terluka saat Jungkook dan Tehyung terluka. Dia juga terluka saat menyelamatkan Namjoon. Tidakkah kalian sadar setiap kita sibuk dengan yang lain. Jimin tak pernah bersama kita. Dan saat itulah dia melemah. Kita tak pernah tau apa yang anak itu rasakan, tekanan apa yang menyiksanya. Kita tak tau!" Yoongi mendongak. Hari ini dia tak akan menyembunyikannya lagi. Dalam hati Yoongi meminta maaf pada Jimin.

Hoseok masih diam. Ini terlalu membingungkan untuknya. 'Sama terluka' 'menyelamatkan Namjoon' semua begitu rumit bagi Hoseok.

"Kau ingat saat kita membawa Jungkook dan Taehyung ke ruang UGD?"

Hoseok mengangguk.

"Saat itu juga Jimin merintih menahan sakitnya di mobil. Sendiri. Saat itu aku benar-benar tidak tau kenapa dia tak bersama kita untuk mengantar Jungkook dan Taehyung. Aku pergi ke mobil dan mendapati dia yang hampir tak sadarkan diri."

Hoseok membelalak tak percaya.

"Dia juga terkena racun itu Hoseok-ah. Jika dia yang memberikan racun itu untuk apa dia juga meminumnya? Aku tak bisa memberitahu kalian. Dia membuatku berjanji."

Hoseok mulai meneteskan air matanya.

"Hari dimana Namjoon jatuh. Jimin memang ada disana. Dia mendapat luka sayat cukup lebar di bahu kanannya. Jika kalian berfikir Jimin sengaja melepaskan Namjoon kalian salah besar. Jimin bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Namjoon. Lukanya bahkan belum mengering hingga saat ini, asal kau tau. Itu diperburuk dengan mentalnya yang benar-benar hancur. Dia terus menyalahkan diri sendiri. Aku tak pernah tau itu akan sangat buruk. Dimalam ketika aku tertidur. Ia terbangun. Dia pergi keluar tanpa sepengetahuanku. Kau tau apa yang terjadi? Dia kembali menyalahkan dirinya sendiri dan membuat lukanya semakin melebar. Aku tak tau apa yang terjadi jika dia kembali menyalahkan dirinya sendiri."

Hoseok kembali menangis. Ia merasa lebih buruk saat ini ia merasa buruk sebagai seorang kakak. Ia merasa buruk sebagai teman. Dia pikir dia tau segalanya dan nyatanya bahkan dia tak pernah memahami adiknya bahkan meski mereka berdua bertahun-tahun tinggal sekamar.

***


💜💜💜💜💜💜

Love Yourself, Park Jimin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang