9. Trauma

1K 175 6
                                    

"Ma, Mama buka pintunya Ma!" teriak Jeffrey dan mamanya bingung tak biasanya anaknya seperti ini biasanya Jeffrey akan membuka dengan kunci cadangan yang ia bawa.

"Duh ada ap—siapa itu?" tanya mama Jeffrey saat melihat sang anak tengah menggendong seorang anak gadis dalam keadaan pingsan.

"Nanti Jeff jelasin, Jeff pake kamar Raina," katanya lalu berjalan ke arah kamar Raina tanpa peduli mamanya yang belum memberi jawaban.

Dengan buru-buru Jeff berjalan ke arah kamar Raina yang selama ini selalu tertutup dan ini mungkin untuk pertama kalinya dia membukanya. Saat ia sampai di depan pintu dia melihat seorang lelaki yang tengah meletakkan sebuah hadiah di sana. Ah dia melupakan satu hal. Virman akan selalu datang tiap tahunnya untuk meletakkan hadiah di kamar Raina.

"Jeff," panggil Virman saat dia melihat Jeff masuk dan sedetik kemudian dia terkejut karena Jeffrey tak sendiri ada seorang perempuan yang ia gendong.

"Anna?"

"Ambilin minyak angin," kata Jeffrey.

"Kenapa dia ada di—"

"Cepet! Gak usah banyak omong," suruh Jeffrey dan kini Virman sudah berjalan menjauh untuk menanyakan minyak angin pada mama Jeffrey. Dan tak lama kemudian Virman datang tak hanya dengan minyak angin, tapi juga dengan mamanya Jeffrey.

"Dia kenapa Kak?"

"Pingsan Ma," kata Jeffrey sambil memegang tangan Anna. Lalu mengoleskan minyak angin ke dekat hidung Anna dan tak butuh waktu lama dia sudah terbangun.

"Thanks god. Lo nakutin gue tau nggak sih." Marahnya pada Anna, tapi Anna malah terdiam. Dia bukan bertanya-tanya bagaimana dia bisa berada di tempat asing dia sudah tahu tersangkanya adalah Jeffrey. Dia hanya masih sedikit takut tangannya masih bergetar.

"Kamu nggak apa-apa, Nak?" Suara lembut keibuan membuat Anna mengalihkan perhatian dari tangannya ke wajah mama Jeffrey, tapi ia tak menjawab rasanya bibirnya tak bisa mengumandangkan kebohongan dengan fisik yang lemah seperti ini.

Jeffrey mengerti lalu ia kembali memegang tangan Anna hingga sang pemilik tangan ikut melihat ke arahnya.

"Ada gue." Anna tak bisa menahan tangisnya kata itu yang dulu sangat ia tunggu, tapi tak ada yang mengatakannya di saat ia butuh mereka hanya mengasihaninya dan tak benar-benar ada di sampingnya. Mereka hanya melihat dan bertindak saat semuanya sudah semakin parah.

"Ma, Vir bisa tinggalin Jeff sama Anna sebentar?"

Sepeninggal mamanya dan Virman, keduanya saling diam hingga Anna memecah keheningan.

"Sorry. Lagi-lagi gue ngerepotin lo." Jika biasanya Jeffrey akan menggoda gadis di sampingnya itu dengan kata-kata, tapi kali ini dia tak melakukannya. Dia malah menepuk puncak kepala Anna.

"It's okay, tapi kalo gue boleh tau sejak kapan lo punya pobia gelap?" Melihat Anna yang menunduk dan diam Jeffrey bisa melihat jika ada sesuatu sebelum Anna mengalami trauma sesuatu yang terjadi yang memicu itu semua.

"Kalo lo nggak mau jawab nggak apa-apa gue nggak maksa lo." Anna mengangkat kepalanya dan memandang Jeffrey dengan tatapan yang tak begitu Jeffrey mengerti.

"6-7 bulan yang lalu." Anna mulai membuka suara dan Jeffrey tak berniat untuk mengatakan apa pun ia tahu sekarang adalah waktu dimana Anna akan membuka diri dan menceritakan semuanya.

"Nggak cuma gelap, gue juga nggak bisa napas di ruang yang sempit." Anna mengambil napas seolah dia perlu tenaga untuk menceritakan semua itu dan Jeffrey yakin untuk menceritakan sesuatu yang menyakitkan memang butuh tenaga.

"Seperti yang lo liat di depan tempat les Lisa dulu, gue selalu diperlakukan kayak gitu di sekolah gue yang lama." Jeffrey sudah bisa menebak saat Anna mengatakan 'i used to', tapi entah mengapa mendengar itu dia seolah mulai merasa emosinya memuncak dan tanpa dia sadari dia mengepalkan telapak tangannya.

"Disiram air, loker dicorat-coret, laci penuh sampah, buku disobek, di tampar, didorong, semuanya bisa gue tangani." Anna menoleh pada Jeffrey dengan senyum dan Jeffrey tidak buta untuk melihat betapa menyakitkannya senyum itu.

"Until she locks me. Dia ngurung gue di gudang dari pulang sekolah sampai malem hingga akhirnya Lisa, Jennie, Joana dan abang gue nyari gue dan nemuin gue di sana dalam keadaan pingsan." Tanpa sadar air mata Anna jatuh mengingat kejadian itu.

"Gue masih inget gimana gue udah mohon-mohon sama mereka, gue putus asa nggak ada satu pun orang yang bantuin gue. Itu adalah titik terlemah gue. Di saat gue minta tolong nggak ada orang yang dateng." Suara Anna seakan tertelan kembali saat dia kembali menangis. Namun kali ini dia tak sendiri ada Jeffey di sampingnya. Ada Jeffrey yang menghapus air matanya, ada Jeffrey yang membuatnya tenang. Andai saja dia bertemu Jeffrey sebelumnya mungkin dia akan lebih beruntung.

"Sstttt udah, semuanya udah selesai. Sekarang mereka nggak bakal nyakitin lo lagi. Gue di sini lo aman."

-o0o-

Nancy menyadari ada yang salah dengan Anna sejak gadis itu masuk kelas, tampak begitu lemas dan tak bertenaga. Ya walaupun biasanya Anna juga terlihat tak banyak gerak, tapi ini di level berbeda. Apa lagi setelah gadis itu selalu menghela nafas. Nancy tahu sesuatu telah terjadi.

"Are you okay?" tanya Nancy saat Anna menolak untuk ke kantin entah karena apa.

"Lo sakit?" tanya Cleo.

"Nggak gue nggak apa-apa," jawabnya ditambah sedikit senyum.

"Anna." Tiba-tiba Justin datang.

"Ngapain lo?" tanya Cleo penasaran.

"Gpp kalian nggak ke kantin?" tanya Justin berharap dua wanita itu pergi agar ia bisa leluasa bicara dengan Anna.

"Ya udah cabut yok Nan, lo nggak mau nitip An?"

"Nggak makasih." Kedua wanita itu langsung pergi begitu Anna menolak tawaran mereka.

"Lo nggak apa-apa? Nyokap lo kemaren nelpon gue, tapi hp gue ketinggalan di tempat Jimmy. Apa terjadi sesuatu?" Anna mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Justin.

"Nggak apa-apa bukan hal besar," kata Anna mencoba tersenyum walaupun ia sangat malas sekali rasanya.

"Lo keliatan nggak sehat," kata Justin lalu menyentuh dahi Anna dan benar ia bisa merasakan bahwa dahi Anna terlalu panas untuk kategori orang yang sehat.

"Gue cuma butuh istirahat, dan lo jangan di sini, gue nggak mau jadi bahan omongan anak-anak," kata Anna mengusir Justin secara halus.

"Jeffrey bisa nemuin lo bebas, kenapa gue nggak? Apa bedanya?" Tak ada yang salah dengan ucapan Justin, tapi semua orang juga tahu bahwa Jeffrey dan Justin itu berbeda mereka mungkin sama sama tampan dan idola, tapi jelas sikap aneh Jeffrey membuatnya langsung terdepak dari daftar calon pacar berbeda dengan Justin yang memiliki pembawaan yang kalem dan menyenangkan.

"Dia temen gue dan lo bukan."

"Terus gue nggak boleh ketemu lo gitu? Kalo diurutin harusnya gue yang lebih sering ketemu lo dibanding dia. Gue cowok lo." Anna syok dengan ucapan Justin bukankah mereka tak punya hubungan seperti itu? Namun, yang lebih membuatnya syok adalah orang yang berteriak.

"Kalian pacaran!!"

"Kalian pacaran!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✅Eccedentesiast Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang