Masih berada di Dufan Jeffrey dan Anna benar-benar memisah dari teman-teman yang lainnya bahkan saat hari mulai sore mereka memilih menikmati ice cream sambil duduk di meet point yang sudah ditentukan sebelumnya.
"Gue udah cerita soal gue, sekarang lo bisa cerita soal lo." Jeffrey tampak bingung dengan maksud Anna. Dia merasa bahwa ia tak punya sesuatu yang perlu ia ceritakan pada Anna hidupnya monoton tanpa ada masalah sama sekali.
"Gue nggak ada yang bisa gue ceritain hidup gue biasa-biasa aja nggak ada yang menarik," katanya masih menjilati ice cream-nya.
"Sesuatu yang ada di hati lo yang tanpa lo sadari jadi beban buat lo." Jeffrey punya satu, tapi ia tak tahu apa ia bisa menceritakannya atau tidak.
"Gue nggak tau apa gue siap ngasih tau lo soal ini apa nggak. Ini sesuatu yang buat gue selalu ngerasa gagal jadi seorang kakak." Anna menepuk punggung Jeffrey.
"Sorry."
"Buat?"
"Maksa lo cerita, gue cuma pengen kita lebih terbuka dan saling menyandarkan diri. Lo selalu ada saat gue butuh lo. Tapi, gue nggak bisa ngelakuin apa pun buat lo," kata Anna dengan senyum kecilnya.
"Lo di sini aja udah sangat membantu gue Ann. Gue bahkan nggak bisa bayangin kalo nggak ada lo," katanya.
"Gue pengen lebih dari sekedar itu Jeff, tapi kalo lo emang nggak mau gue nggak masalah." Anna berdiri, tapi Jeffrey menahannya. Ia memegang tangannya dan menghadap Anna yang juga menatapnya.
"Raina dia satu-satunya penyesalan gue. Dia sama kayak lo." Jeffrey menjeda omongannya, Anna sendiri tak menginterupsi ia yakin bahwa Jeffrey sedang mempersiapkan diri untuk bicara kembali.
"Dia ceria, kayak nggak punya masalah semuanya dia sembunyiin lewat senyumannya yang begonya gue tertipu sama dia. Gue nggak tau dia di-bully di sekolah."
Jeffrey keluar dari ruang karantina saat Raina menjenguknya. Rasanya sudah lama sekali dia mendapat kunjungan dari saudara kembarnya itu. Namun, saat Raina datang dia dalam keadaan yang tak baik-baik saja. Bajunya basah dan ada luka di kakinya tapi gadis itu tetap tersenyum saat bertemu Jeffrey.
"Lo kenapa? Kok baju lo bisa basah?" Jeffrey memberikan kemeja yang ia gunakan membiarkan tubuhnya hanya terbalut kaos putih pas badan.
"Temen gue ada yang ulang tahun. Lo tau sendirilah kebiasaan anak-anak." Jeffrey tak begitu curiga karena kebiasaan jika ada yang ulang tahun mereka sering saling siram dan ia menganggap Raina tersiram karena ritual itu.
"Oh iya? Kenapa nggak balik dulu baru ke sini? Lo bisa masuk angin tau nggak. Nih pake." Raina mengangguk dan memakai kemeja yang kebesaran di badannya itu.
"Gimana di sini?" tanya Raina.
"Ngebosenin nggak ada yang bisa gue gangguin, tapi makanan di sini enak, tapi tetep gue kangen masakan mama." Raina tersenyum lalu mengulurkan sebuah kotak makan pada Jeffrey.
"Apa nih?"
"Katanya lo kangen makanan nyokap itu bekal gue. Tenang aja nggak basi kok." Tangan Jeffrey terulur untuk membuka bekal yang ternyata berisi sandwich kesukaannya.
"Makasih, lo emang saudara terbaik." Raina tersenyum kecil.
"Ini makanan terakhir yang bisa gue kasih buat lo."
"Hah maksud lo?" tanya Jeffrey tanpa tahu bahwa itu adalah kata-kata perpisahan untuk Jeffrey.
"Jangan pernah ngerasa bersalah, ini bukan salah lo. Ini pilihan gue tolong jaga mama sama papa. Satu lagi jangan pernah salahin siapa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Eccedentesiast
Teen FictionSenyum adalah topeng terbaik yang ia punya. Lewat senyuman dia menyimpan seratus arti, lewat senyumnya ia menyembunyikan ribuan masalah.