Jangan berteman dengan mereka yang membuatmu membenci diri sendiri.
***
Ini tidak akan sulit. Nadine meyakinkan diri sendiri. Ia hanya perlu mencegah teman-temannya memasuki kamar, seperti yang Bi Ade dan Mang Amin lakukan. Atau paling mudah, tidak membiarkan mereka naik ke lantai dua.
Tadi pagi, ia hampir saja kena serangan jantung. Penyebabnya tak lain karena Nil, ayahnya mengetuk pintu, mengajak sarapan bersama. Antara senang dan terkejut, juga was-was mengenai keberadaan Kuga, Nadine menyahut dari dalam. Untung saja ayahnya tak merasa aneh soal suaranya yang terlalu lantang.
Melihat Nadine pulang dengan teman-temannya--yang merupakan momen langka, bahkan Bi Ade baru melihat ini di masa SMA Nadine--Bi Ade menghampiri tergopoh-gopoh. Meski begitu, ekspresinya menunjukkan antusiasme tinggi. Matanya mengerjap, dia tidak menahan diri untuk tersenyum.
"Wah, ada temennya Non Nadine. Mau dibawain apa sama Bibi? Mau jus jeruk? Kue?"
"Boleh, Bi." Routa menyahut tanpa malu. "Jus jeruknya dingin ya."
"Air putih yang nggak dingin, Bi." Laura ikut membuka mulut. Suaranya masih terdengar serak.
"Aku jus jeruk juga," kata Utami.
"Oh oke siap." Bi Ade mengacungkan jempolnya. "Non mau apa?" tanyanya pada Nadine.
"Samain aja deh, Bi."
"Ashiap."
Nadine tidak tahu dari mana Bi Ade mempelajari kata itu.
Sementara teman-temannya duduk di ruang tengah dan merapat pada laptop Utami, Nadine naik ke lantai dua. Langkahnya agak terburu-buru. Tidak seperti kemarin, pintu mudah saja didorong setelah Nadine membuka kuncinya. Tidak ada Kuga yang bersandar pada pintu.
Sebagai gantinya, Nadine melihat Kuga tidur pada sofa. Kakinya yang terlalu panjang menggantung di sisi sofa. Tubuhnya ditutupi jas bermotif garis-garis dan kotak abu. Nadine terdiam, itu jas miliknya yang dulu ia pakai untuk pementasan seni saat SMP. Bagaimana Kuga mendapatkannya?
Begitu Nadine melihat ke arah lemari, lututnya langsung terasa lemas. Pintu lemari terbuka, pakaiannya berhamburan. Jaket, kaus, celana, rok, kebanyakan berserakan di lantai. Gantungan pakaian juga jatuh.
Ya Tuhan.
Untung saja yang lebih pribadi Nadine tempatkan di laci atas. Kalau itu juga dimainkan Kuga, Nadine bisa saja malu setengah mati.
Bukan waktunya untuk kesal dan memarahi Kuga. Ia juga tidak tahu alasan mengapa Kuga melakukan itu. Mungkin karena bosan. Ya, itu kemungkinan paling masuk akal. Ia akan membereskannya nanti setelah kerja kelompok selesai.
Nadine menyimpan tasnya di meja belajar. Merogoh tempat pensil dari sana, materi yang telah ia buat kemarin tersimpan dalam flashdisk. Selain itu, tadi dia menyempatkan diri untuk ke minimarket, membeli makanan kucing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadine & Tuan Kucing (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction(SUDAH DITERBITKAN OLEH BUKUNE) Nadine tidak percaya sihir, sulap, atau apalah itu. Namun, ketika kucing yang ia temukan di teras dan ia adopsi berubah menjadi laki-laki tampan, Nadine kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Bahkan untuk dirinya...