Happy reading, Nakuga!
Kalian buka chapter ini jam berapa?
***At least we were under the same sky.
***Sengaja, Nadine mengambil rute terjauh menuju rumahnya yang ia tahu dengan berjalan kaki.
Nadine tidak memiliki tujuan pasti selain rumah. Kalau saja tempat peristirahatan terakhir ibunya tidak di kota kelahirannya di seberang pulau, mungkin ia sudah berkunjung ke sana. Bercerita soal apa saja yang ia rasakan dan alami setelah ibunya tidak ada.
Sepintas, Nadine merasa menyesal tidak mengikuti ekstrakurikuler yang ada di sekolahnya. Jika ia ikut, tentu bisa memberinya waktu untuk tidak memikirkan suara-suara ramai di kepalanya. Selain itu, Nadine juga bisa pulang lebih sore. Untuk saat ini berada di rumah membuatnya muak.
Pikiran Nadine kembali mendaftar satu per satu ekskul yang bisa saja ia ikuti. Sebagai seseorang yang rikuh dan kaku di depan umum, Nadine segera mencoret tari tradisional dan modern dance. Nadine tidak bisa membayangkan ia beras di organisasi seperti OSIS dan MPK.
English Club? Kemampuan berbahasa asing Nadine bisa dibilang lumayan. Meski tidak sampai selancar Mickey Mouse atau Oppa Koreanya yang pernah tinggal di luar negeri. Sewaktu SMP, dia pernah mewakili sekolahnya dalam ajang speech contest.
Sayangnya, Nadine mulai malas berbicara di depan orang banyak.
Walau begitu, ekskul ini mulai ia pertimbangkan. Nadine bisa menjadi anggota biasa, yang belajar lagi bahasa tanpa harus ikut lomba.
Kemudian, ekskul lain yang dipertimbangkannya adalah mading. Para pengisi majalah dinding sekolah. Kegiatan mereka bahkan lebih cocok untuk Nadine. Mereka hanya akan dikenali lewat nama pada karya di mading, inisial pun tak apa.
Berhenti melangkah, Nadine dihadapkan pada jembatan penyeberangan yang akan membawanya ke jalan besar menuju gerbang kompleks. Mengapa bisa secepat ini?
Jembatan penyeberangan berikutnya cukup jauh, dan itu yang Nadine butuhkan.
Ia memutuskan untuk melewati jembatan penyeberangan yang masih berjarak beberapa ratus meter di depannya.
Nadine mencoba mengingat siapa di kelasnya yang mengikuti ekskul mading. Utami? Nadine tidak ingat.
Trotoar terasa menyesakkan dengan adanya pengendara motor yang menggunakan bagian itu untuk menyalip kendaraan lain. Nadine sampai harus berjalan di pinggir sekali, mendekati selokan besar dan tanaman-tanaman rumput. Jalannya dibuat selambat mungkin. Sayangnya, Nadine sudah sampai juga di jembatan penyeberangan berikutnya.
Mendesah perlahan, Nadine mengedarkan pandangan, mencari tempat apa saja. Mungkin kafe, pusat perbelanjaan, atau apa saja yang bisa dijadikan pelarian.
Tidak ditemukannya tempat yang cocok itu. Nadine hanya menemukan jajaran rumah toko kain dan alat tulis. Di dekatnya, menguar aroma dari jajanan-jajanan pinggir jalan. Minuman dingin, kue cubit, sampai olahan daging tusuk.
Yang disebutkan terakhir menarik perhatian Nadine. Sosis bakar, bakso bakar, sampai nugget tusuk mengingatkannya pada Kuga. Sensasi lapar tiba-tiba menjalari perutnya.
Nadine menggeleng, buat apa ia memikirkan manusia kucing itu? Hari ini, dia telah begitu menyebalkan. Telah ikut andil membuat hari ini terasa buruk.
Namun, bagaimana kalau dia terus menggedor-gedor pintu sampai terdengar Bi Ade dan wanita itu menemukannya? Bisa saja, Bi Ade mengusirnya, memanggil warga. Atau yang paling parah, menghubungi polisi.
Kemungkinan itu terdengar tak masuk akal mengingat tidak ada satu pun orang rumah yang menghubunginya sejak pagi. Bagaimanapun juga, Kuga berada di kamarnya. Dan, ia berhak tahu soal apa yang terjadi.
Kecuali Mang Amin yang meminta maaf soal dirinya yang terlalu menikmati kopi paginya.
"Mau, Dek?"
"Eh?"
Terlalu lama berdiri di depan penjual, Nadine sampai dipanggil oleh laki-laki berusia tiga puluhan yang memakai topi hitam tanpa aksen. Tidak ada orang lain di sana. Maka, memang ia yang diajak bicara.
"Yang bakso bakar jadi best seller bulan ini, Dek."
Mengerutkan kening, Nadine memberi senyum seadanya. "Oh ya?" balasnya singkat.
"Iya, Dek."
"Boleh deh, Mas. Saya beli bakso tusuknya dua, yang nugget satu, terus sosisnya dua."
"Siap, Dek."
Cukup untuk dirinya sendiri.
Kuga juga suka makanan ini. Yang bakso tusuk adalah favoritnya.
Nadine mencoba pura-pura untuk tidak peduli.
Akan tetapi, tidak berhasil.
Nadine juga lupa ia belum memberi Kuga sarapan.
"Tambah lagi yang bakso tiga deh, Mas. Yang dua lainnya tambah dua lagi."
Penjual olahan daging tusuk itu hanya mengacungkan jempolnya.
Menarik napas dalam-dalam, Nadine sadar jika sejak kali pertama ia memutuskan untuk memelihara Kuga, dia adalah tanggung jawabnya. Secara penuh.
***
Selain di Wattpad, Nadine & Tuan Kucing juga tersedia di aplikasi Waktu Seru. Buatmu yang pakai iOS, bisa cek website-nya ya. Jangan lupa baca di sana juga!
SPAM NEXT DI SINI BUAT LANJUT~
Ok, see you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadine & Tuan Kucing (SUDAH TERBIT)
Roman pour Adolescents(SUDAH DITERBITKAN OLEH BUKUNE) Nadine tidak percaya sihir, sulap, atau apalah itu. Namun, ketika kucing yang ia temukan di teras dan ia adopsi berubah menjadi laki-laki tampan, Nadine kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Bahkan untuk dirinya...